1. Letak Geografis
Kerajaan Medang kamulan merupakan Kerajaan lanjutan dari Mataram Lama
di Jawa Tengah. Letak Kerajaan berada di wilayah Jawa Timur. Kerajaan
Medang menjadi Kerajaan tersendiri sejak Mpu sindok membentuk Dinasti
Baru yaitu Isyana.
2. Sumber Sejarah
Prasasti ini menyebutkan beberapa tulisan tentang usaha-usaha yang dilakukan Mpu Sindok ketika memerintah di Kerajaaan Medang
Prasasti ini menyebutkan tentang silsilah raja-raja yang memerintah
di Dinasti Isyana (Mpu Sindok) sampai masa masa pemerintahan Raja Air
Langga.
3. Perkembangan Pemerintahan
a. Mpu Sindok
Mpu Sindok merupakan Raja pertama di Kerajaan Medang Kamulan. Mpu
Sindok memerintah selama 20 tahun. Ia dibantu oleh permaisurinya bernama
Sri wardhani Pu Kbin . Saat memerintah, Mpu Sindok bergelar Sri Maharaja Raka i Hino Sri Isyana Wikrama Dharmatunggadwea.
Mpu Sindok memerintah dengan bijaksana. Berbagai usaha yang dilakukan
untuk memakmurkan rakyat, antara lain membangun bendungan atau waduk
untuk pengairan. Raja Mpu sindok melarang rakyat untuk menangkap ikan di
bendungan tersebut. Larangan ini bertujuan untuk melestarikan sumber
daya alam.
Dalam bidang agama, Mpu Sindok meskipun agama Hindu, sangat
memperhatikan usaha penggubahan Kitab Buddha Mahayana. Hasil gubahan
berupa kitab Sang Hyang Kamahayanikan. Ini membuktikan antara agama Hindu dan Buddha bisa hidup saling berdampingan.
b. Dharmawangsa Teguh
Setelah Mpu Sindok, Medang Kamulan diteruskan oleh Dharma Teguh
yang juga merupakan cucu dari Mpu Sindok. Selama memerintah, ia
berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Usaha tersebut antara
lain dengan meningkatkan pertanian, dan perdagangan. Akan usaha untuk
meningkatkan perdagangan mengalami kesulitan. Karena perdagangan di
kawasan perairan jawa dan Sumatera masih dikuasai Kerajaan
Sriwijaya.Dalam rangka mematahkan pengaruh Sriwijaya, pada tahun 1003 M,
Dharmawangsa mengirimkan tentaranya untuk merebut pusat perdagangan di
Selat Malaka dari kekuasaan Sriwijaya. Serangan tersebut ternyata tidak
berhasil. Bahkan Sriwijaya membalas melalui serangan kerajaan Wura Wuri (kerajaan bawahan atau vassal
Sriwijaya). Akibat serangan tersebut Kerajaan Medang mengalami
kehancuran. Peristiwa kehancuran yang menewaskan Dharmawangsa disebut
dengan Pralaya.
c. Air langga (Erlangga)
Air langga adalah putera Raja Bali bernama Udaya yang menikah
dengan Mahendradatta saudari raja Dharmawangsa. Air Langga dinikahkan
oleh Dharmawangsa. Pada waktu pesta pernikahan, secara tiba-tiba datang
serangan dari kerajaan Wura Wuri (kerajaan bawahan Sriwijaya) yang
menewaskan Dhramawangsa dan keluarga.Ketika terjadi peristiwa tersebut,
Air Langga lolos dari pembunuhan. Atas bantuan Narattoma berhasil
melarikan diri ke hutan. Selama di pengasingan, Air Langga mendapat
gemblengan dari para Brahmana dan dinobatan menjadi raja. Akhir Langga
berusaha memulihkan kewibawaan Kerajaan Medang. Secara berturut-turut
Air Langga berhasil menaklukan raja-raja bawahan (vassal) Sriwijaya
seperti Bisaprabhawa ditaklukan tahun 1029 M, raja Wijayawarman dari
Wengker tahun 1034, Raja Adhamapanuda tahun 1031 M termasuk Wura Wuri
tahun 1035. Setelah berhasil memulihkan kewibawaan kerajaan, Air Langga
memindahkan ibukota kerajaan Medang ke Kahuripan.
Usaha yang dilakukan Air Langga dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Medang, antara lain :
1. Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, di muara Kali Brantas.
2. Membangun waduk waringin sapta untuk mencegah banjir musiman.
3. Membangun jalan-jalan yang menghubungkan pesisir ke pusat kerajaan.
Pelabuhan Hujung Galuh dan Tuban menjadi bender dagang yang ramai.
Kapal-kapal dari India, Birma, Kamboja dan Champa berkunjung kedua
tempat itu.Usaha-usaha yang dilakukan Air Langga, telah mendorong
Kerajaan Medang Kamulan kepuncak kejayaan dan kemakmuran. Atas
keberhasilan raja Air Langga tersebut dalam membangun kerajaan maka
pengalaman hidupnya dikisahkan dalam sebuah kitab bernama Arjuna wiwaha
yang digubah oleh Mpu Kanwa.Selain usaha dalam meningkatkan
kesejahteraan rakyat, Air Langga pun sangat memperhatikan para Brahmana
yang telah menggembleng ketika di hutan Bentuk perhatian Air Langga
terhadap para Brahmana adalah dengan mendirikan bangunan suci di daerah Peucangan.
Di penghujung akhir hayatnya, Air Langga memutuskan mundur dari
kerajaan dan menjadi memutuskan untuk menjadi pertapa dengan sebutan
resi Gentayu. Air Langga meninggal pada tahun 1049 M. Jenazahnya disemayamkan di lereng gunung Pananggungan dalam candi Belahan.
Pewaris tahta kerajaan seharusnya seorang puteri (sri
Sanggramawijaya) yang lahir dari permaisuri. Namun karena ia memilih
menjadi pertapa, maka tahta beralih pada putera Air Langga yang lahir
dari Selir. Untuk menghindari dari perang saudara, Air Langga membagi
dua kerajaan. Pembagian dibantu oleh Mpu Bharada, yaitu Jenggala dan
Panjalu. Batas kedua kerajaan dibatasi oleh sungai Brantas. Maka dengan
demikian berakhirlah kerajaan Medang Kamulan sekaligus Dinasti Isyana
Medang Kamulan – Kerajaan Pertama Di Jawa
Di posting saya terdahulu tentang perjalanan sejarah kerajaan kuno di indonesia, Kerajaan Medang Kamulan menempati posisi pertama sebagai kerajaan pertama yang ada di Jawa. Medang Kamulan
adalah wilayah atau kerajaan setengah mitologis yang dianggap pernah
berdiri di Jawa Tengah dan mendahului Kerajaan Medang (kamulan berarti
“permulaan”, jadi “Medang Kamulan” berarti “pra-Medang”). Kerajaan ini
dikatakan “setengah mitologis” karena tidak pernah ditemukan bukti-bukti
fisik keberadaannya.
Sumber-sumber mengenai kerajaan ini hanya berasal dari cerita-cerita rakyat (misalnya dalam Legenda Loro Jonggrang)
dan penyebutan oleh beberapa naskah kuno. Cerita pewayangan versi Jawa
menyebutkan bahwa Medang Kamulan adalah tempat bertahtanya Batara Guru. Dalam legenda Aji Saka, Medang Kamulan adalah negeri tempat berkuasanya Prabu Dewata Cengkar
yang lalim. Cerita rakyat lain (di antaranya termasuk legenda Loro
Jonggrang dan berdirinya Madura) menyatakan, Medang Kamulan dikuasai
oleh Prabu Gilingwesi.
Legenda Aji Saka sendiri menyebutkan bahwa Bledug Kuwu
di Kabupaten Grobogan adalah tempat munculnya Jaka Linglung setelah
menaklukkan Prabu Dewata Cengkar. Van der Meulen menduga, walaupun ia
sendiri tidak yakin, bahwa Medang Kamulan dapat dinisbatkan kepada “Hasin-Medang-Kuwu-lang-pi-ya” yang diajukan van Orsoy, dalam artikelnya tentang Kerajaan “Ho-Ling” yang disebut catatan Tiongkok. Hal ini membuka kemungkinan bahwa Medang Kamulan barangkali memang pernah ada.
Baris ke-782 dan 783 dari naskah kedua Perjalanan Bujangga Manik
dari abad ke-15 menyebutkan bahwa setelah ia (Bujangga Manik)
meninggalkan Pulutan (sekarang desa di barat kota Purwodadi) ia tiba di
“Medang Kamulan”. Selanjutnya, dikatakan pula bahwa setelah ia
menyeberang Sungai Wuluyu tibalah ia di “Gegelang” (Madiun selatan), di
selatan “Medang Kamulan”. Naskah inilah yang pertama kali menyebut bahwa
memang ada tempat bernama Medang Kamulan, meskipun tidak dikatakan
bahwa itu adalah kerajaan.
Masyarakat Sunda diketahui mengenal legenda mengenai kerajaan ini, yang dikatakan mendahului Kerajaan Sunda Galuh
Kerajaan Medang Kamulan
Berdasarkan penemuan beberapa prasasti, dapat diketahui bahwa
Kerajaan Medang Kamulan terletak di muara Sungai Brantas. Ibukotanya
bernama Watan Mas. Kerajaan itu didirikan oleh Mpu Sindok, setelah ia
memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kamulan pada masa pemerintahan Mpu
Sindok mencakup Nganjuk di sebelah barat, Pasuruan di sebelah timur,
Surabaya di sebelah utara, dan Malang di sebelah selatan. Dalam
perkembang-an selanjutnya, wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kamulan
mencakup hampir seluruh wilayah Jawa Timur.
a. Sumber Sejarah
Sumber sejarah Kerajaan Medang Kamulan berasal dari berita asing dan prasasti-prasasti.
b. Berita Asing
Berita asing tentang keberadaan Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur
dapat diketahui melalui berita dari India dan Cina. Berita dari India
mengatakan bahwa Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan persahabatan
dengan Kerajaan Chola untuk membendung dan menghalangi kemajuan Kerajaan
Medang Kamulan pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa.
Berita
Cina berasal dari catatan-catatan yang ditulis pada zaman Dinasti Sung.
Catatan-catatan Kerajaan Sung itu menyatakan bahwa antara kerajaan yang
berada di Jawa dan Kerajaan Sriwijaya sedang terjadi permusuhan,
sehingga ketika Duta Sriwijaya pulang dari Cina (tahun 990 M), terpaksa
harus tinggal dulu di Campa sampai peperangan itu reda. Pada tahun 992
M, pasukan dari Jawa telah meninggalkan Sriwijaya dan Kerajaan Medang
Kamulan dapat memajukan pelayaran dan perdagangan. Di samping itu, tahun
992 M tercatat pada catatan-catatan negeri Cina tentang datangnya duta
persahabatan dari Jawa.
Berita Prasasti
Beberapa prasasti yang mengungkapkan Kerajaan Medang Kamulan antara lain:
• Prasasti dari Mpu Sindok, dari Desa Tangeran (daerah Jombang) tahun
933 M menyatakan bahwa Raja Mpu Sindok memerintah bersama permaisurinya
Sri Wardhani Pu Kbin.
• Prasasti Mpu Sindok dari daerah Bangil
menyatakan bahwa Raja Mpu Sindok memerintah pembuatan satu candi sebagai
tempat pendharmaan ayahnya dari permaisurinya yang bernama Rakryan
Bawang.
• Prasasti Mpu Sindok dari Lor (dekat Nganjuk) tahun 939 M
menyatakan bahwa Raja Mpu Sindok memerintah pembuatan candi yang bernama
Jayamrata dan Jayastambho (tugu kemenangan) di Desa Anyok Lodang.
• Prasasti Calcuta, prasasti dari Raja Airlangga yang menyebutkan silsilah keturunan dari Raja Mpu Sindok.
c. Kehidupan Politik
Sejak berdiri dan berkembangnya Kerajaan Medang Kamulan, terdapat
beberapa raja yang diketahui memerintah kerajaan ini. Raja-raja tersebut
adalah sebagai berikut.
Raja Mpu Sindok Raja Mpu Sindok memerintah
Kerajaan Medang Kamulan dengan gelar Mpu Sindok Sri Isyanatunggadewa.
Dari gelar Mpu Sindok itulah diambil nama Dinasti Isyana.
Raja Mpu
Sindok termasuk keturunan Raja Dinasti Sanjaya (Mataram) di Jawa Tengah.
Oleh karena kondisi Jawa Tengah tidak memungkinkan bertahtanya Dinasti
Sanjaya akibat desakan Kerajaan Sriwijaya, maka Mpu Sindok memindahkan
pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Bahkan dalam
prasasti terakhir, Mpu Sindok adalah peletak dasar Kerajaan Medang
Kamulan di Jawa Timur. Namun, setelah Mpu Sindok turun tahta, keadaan
Jawa Timur dapat dikatakan suram, karena tidak adanya prasasti-prasasti
yang menceritakan kondisi Jawa Timur. Baru setelah Airlangga naik tahta
muncul prasasti-prasasti yang dijadikan sumber untuk mengetahui
keberadaan Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur.
Dharmawangsa
Raja Dharmawangsa dikenal sebagai salah seorang raja yang memiliki
pandangan politik yang tajam. Kebesaran Dharmawangsa tampak jelas pada
politik luar negerinya. Raja Dharmawangsa percaya bahwa kedudukan
ekonomi Kerajaan Sriwijaya yang kuat merupakan ancaman bagi perkembangan
Kerajaan Medang Kamulan. Oleh karena itu. Raja Dharmawangsa mengerahkan
seluruh angkatan lautnya untuk menduduki dan menguasai Kerajaan
Sriwijaya. Akan tetapi, selang beberapa tahun kemudian, Sriwijaya
bangkit dan mengadakan pembalasan terhadap Kerajaan Medang Kamulan yang
masih diperintah oleh Dharmawangsa.
Dalam usaha menundukkan
Kerajaan Medang Kamulan, Kerajaan Sriwijaya mengadakan hubungan dengan
kerajaan kecil yang ada di Jawa, yaitu dengan Kerajaan Wurawari.
Serangan dari Kerajaan Wurawari itulah yang mengakibatkan hancurnya
Kerajaan Medang Kamulan (1016 M). Serangan itu terjadi ketika Raja
Dharmawangsa melaksanakan upacara pernikahan putrinya dengan Airlangga
(dari Bali). Dalam serangan itu. Raja Dharmawangsa beserta kerabat
istana tewas. Namun Airlangga dapat melarikan diri bersama pengikutnya
yang setia, yaitu Narottama.
Airlangga Dalam prasasti Calcuta
disebutkan bahwa Raja Airlangga masih termasuk keturunan Raja Mpu Sindok
dari pihak ibunya yang bernama Mahendradata (Gunapria Dharmapatni) yang
menikah dengan Raja Udayana.
Ketika Airlangga berusia 16 tahun
ia dinikahkan dengan putri Dharmawangsa. Pada saat upacara pernikahan
itulah terjadi serangan dari Kerajaan Wurawari, yang mengakibatkan
hancurnya Kerajaan Medang Kamulan. Seperti sudah disebut, Airlangga
berhasil melarikan diri bersama pengikutnya yang setia, yaitu Narottama
ke dalam hutan. Di tengah hutan Airlangga hidup seperti seorang pertapa
dengan menanggalkan pakaian kebesarannya.
Selama tiga tahun
(1016-1019 M), Airlangga digembleng baik lahir maupun batin di hutan
Wonogiri. Kemudian, atas tuntutan dari rakyatnya, pada tahun 1019 M
Airlangga bersedia dinobatkan menjadi raja untuk meneruskan tradisi
Dinasti Isyana, dengan gelar Rakai Halu Sri Lakeswara Dharmawangsa
Airlangga Teguh Ananta Wirakramatunggadewa.
Antara tahun 1019-1028 M, Airlangga berusaha mempersiapkan diri
agar dapat menghadapi lawan-lawan kerajaannya. Dengan persiapan yang
cukup, antara tahun 1028-1035 M, Airlangga berjuang untuk mengembalikan
kewibawaan kerajaan. Airlangga menghadapi lawan-lawan yang cukup kuat
seperti Kerajaan Wurawari, Kerajaan Wengker, dan Raja Futri dari selatan
yang bernama Rangda Indirah. Peperangan menghadapi Rangda Indirah ini
diceritakan melalui cerita yang berjudul Calon Arang.
Setelah
Airlangga berhasil mengalahkan musuh-musuhnya, ia mulai membangun
kerajaan di segala bidang kehidupan untuk kemakmuran rakyatnya. Dalam
waktu singkat Kerajaan Medang Kamulan berhasil meningkatkan
kesejahteraannya, keadaan masyarakatnya stabil. Setelah tercapai
kestabilan dan kesejahteraan kerajaan, pada tahun 1042 M Raja Airlangga
memasuki masa kependetaan.
Tahta kerajaan diserahkan kepada seorang putrinya yang terlahir dari
permaisuri, tetapi putrinya telah memilih menjadi seorang pertapa dengan
gelar Ratu Giri Putri, maka tahta kerajaan diserahkan kepada kedua
orang putra yang terlahir dari selir Airlangga. Selanjutnya, Kerajaan
Medang Kamulan terbagi dua, untuk menghindari perang saudara, yaitu
Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Kediri (Panjalu).
sejarah tentang kerajaan di indonesia
Medang kamulan
1. Letak Geografis
Kerajaan Medang kamulan merupakan Kerajaan kelanjutan dari Mataram
Lama di Jawa Tengah. Letak Kerajaan berada di wilayah Jawa Timur.
Kerajaan Medang menjadi Kerajaan tersendiri sejak Mpu sindok membentuk
Dinasti Baru yaitu Isyana.
2. Sumber Sejarah
• Prasasti Mpu Sindok
Prasasti ini menyebutkan beberapa tulisan tentang usaha-usaha yang dilakukan Mpu Sindok ketika memerintah di Kerajaaan Medang
• Prasasti Calcuta
Prasasti ini menyebutkan tentang silsilah raja-raja yang memerintah di
Dinasti Isyana (Mpu Sindok) sampai masa masa pemerintahan Raja Air
Langga.
3. Perkembangan Pemerintahan
a. Mpu Sindok
Mpu
Sindok merupakan Raja pertama di Kerajaan Medang Kamulan. Mpu Sindok
memerintah selama 20 tahun. Selama pemerintahannya, ia dibantu oleh oleh
permaisurinya bernama Sri wardhani Pu Kbin . Saat memerintah, Mpu
Sindok bergelas Sri Maharaja Raka i Hino Sri Isyana Wikrama
Dharmatunggadwea.
Mpu Sindok memerintah dengan bijaksana. Berbagai
usaha yang dilakukan untuk memakmurkan rakyat, antara lain membangun
bendungan atau waduk untuk pengairan. Raja Mpu sindok melarang rakyat
untuk menangkap ikan di bendungan tersebut. Larangan ini bertujuan untuk
melestarikan sumber daya alam.
Dalam bidang agama , Mpu Sindok
meskipun agama Hindu, sangat memperhatikan usaha penggubahan Kitab
Buddha Mahayana. Hasil gubahan berupa kitab Sang Hyang Kamahayanikan.
Perhatian membuktikan antara agama Hindu dan Buddha bisa hidup saling
berdampingan.
b. Dharmawangsa Teguh
Setelah Mpu Sindok, Medang
Kamulan diteruskan oleh Dharma Teguh yang juga merupakan cucu dari Mpu
Sindok. Selama memerintah, ia berusaha meningkatkan kesejahteraan
rakyatnya. Usaha tersebut antara lain dengan meningkatkan pertanian, dan
perdagangan. Akan usaha untuk meningkatkan perdagangan mengalami
kesulitan. Karena perdagangan di kawasan perairan jawa dan Sumatera
masih dikuasai Kerajaan Sriwijaya.
Dalam rangka mematahkan pengaruh
Sriwijaya, pada tahun 1003 M, Dharmawangsa mengirimkan tentaranya untuk
merebut pusat perdagangan di Selat Malaka dari kekuasaan Sriwijaya.
Serangan tersebut ternyata tidak berhasil. Bahkan Sriwijaya membalas
melalui serangan kerajaan Wura Wuri (kerajaan bawahan atau
vassalSriwijaya). Akibat serangan tersebut Kerajaan Medang mengalami
kehancuran. Peristiwa kehancuran yang menewaskan Dharmawangsa disebut
dengan Pralaya.
c. Air langga (Erlangga)
Air langga adalah
putera Raja Bali bernama Udaya yang menikah dengan Mahendradatta saudari
raja Dharmawangsa. Air Langga dinikahkan oleh Dharmawangsa. Pada waktu
pesta pernikahan, secara tiba-tiba datang serangan dari kerajaan Wura
Wuri (kerajaan bawahan Sriwijaya) yang menewaskan Dhramawangsa dan
keluarga.
Ketika terjadi peristiwa tersebut, Air Langga lolos dari
pembunuhan. Atas bantuan Narattoma berhasil melarikan diri ke hutan.
Selama di pengasingan, Air Langga mendapat gemblengan dari para Brahmana
dan dinobatan menjadi raja. Akhir Langga berusaha memulihkan kewibawaan
Kerajaan Medang. Secara berturut-turut Air Langga berhasil menaklukan
raja-raja bawahan (vassal) Sriwijaya seperti Bisaprabhawa ditaklukan
tahun 1029 M, raja Wijayawarman dari Wengker tahun 1034, Raja
Adhamapanuda tahun 1031 M termasuk Wura Wuri tahun 1035. Setelah
berhasil memulihkan kewibawaan kerajaan, Air Langga memindahkan ibukota
kerajaan Medang keKahuripan.
Usaha yang dilakukan Air Langga dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Medang, antara lain :
1. Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, di muara Kali Brantas.
2. Membangun waduk waringin sapta untuk mencegah banjir musiman
3. Membangun jalan-jalan yang menghubungkan pesisir ke pusat kerajaan
Pelabuhan Hujung Galuh dan Tuban menjadi bender dagang yang ramai.
Kapal-kapal dari India, Birma, Kamboja dan Champa berkunjung kedua
tempat itu.
Usaha-usaha yang dilakukan Air Langga, telah mendorong
Kerajaan Medang Kamulan kepuncak kejayaan dan kemakmuran. Atas
keberhasilan raja Air Langga tersebut dalam membangun kerajaan maka
pengalaman hidupnya dikisahkan dalam sebuah kitab bernama Arjuna wiwaha
yang digubah oleh Mpu Kanwa.
Selain usaha dalam meningkatkan
kesejahteraan rakyat, Air Langga pun sangat memperhatikan para Brahmana
yang telah menggembleng ketika di hutan Bentuk perhatian Air Langga
terhadap para Brahmana adalah dengan mendirikan bangunan suci di daerah
Peucangan.
Di penghujung akhir hayatnya, Air Langga memutuskan
mundur dari kerajaan dan menjadi memutuskan untuk menjadi pertapa dengan
sebutan resi Gentayu. Air Langga meninggal pada tahun 1049 M.
Jenazahnya disemayamkan di lereng gunung Pananggungan dalamcandi
Belahan.
Pewaris tahta kerajaan seharusnya seorang puteri (sri
Sanggramawijaya) yang lahir dari permaisuri. Namun karena ia memilih
menjadi pertapa, maka tahta beralih pada putera Air Langga yang lahir
dari Selir. Untuk menghindari dari perang saudara, Air Langga membagi
dua kerajaan. Pembagian dibantu oleh Mpu Bharada, yaitu Jenggala dan
Panjalu. Batas kedua kerajaan dibatasi oleh sungai Brantas. Maka dengan
demikian berakhirlah kerajaan Medang Kamulan sekaligus Dinasti Isyana.
Kerajaan kutai
Kutai Martadipura adalah kerajaan tertua bercorak Hindu di Nusantara
dan seluruh Asia Tenggara. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman,
Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diambil
dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan
tersebut. Nama Kutai diberikan oleh para ahli karena tidak ada prasasti
yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini. Karena memang sangat
sedikit informasi yang dapat diperoleh akibat kurangnya sumber sejarah.
[sunting]Sejarah
[sunting]Yupa
Informasi yang ada diperoleh dari Yupa / prasasti dalam upacara
pengorbanan yang berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa yang
menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah
Kerajaan Kutai. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang
memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat
dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada
kaum brahmana.
[sunting]Mulawarman
Mulawarman adalah anak
Aswawarman dan cucu Kudungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat
kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara
penulisannya. Kudungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja)
yang datang ke Indonesia. Kudungga sendiri diduga belum menganut agama
Budha.
[sunting]Aswawarman
Aswawarman mungkin adalah raja
pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai
pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang
artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan
salah satunya adalah Mulawarman.
Putra Aswawarman adalah Mulawarman.
Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan
Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir
seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan
makmur.
Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar
karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit
yang mendengar namanya.
[sunting]Berakhir
Kerajaan Kutai
berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam
peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum
Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda
dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada
di Kutai Lama (Tanjung Kute). Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365,
yang disebutkan dalam sastra JawaNegarakertagama. Kutai Kartanegara
selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai
Kartanegara.
Tarumanegara
Tarumanagara atau Kerajaan Taruma
adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa
pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salah satu kerajaan
tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan
sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat
bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran
Wisnu. Sumber Sejarah
Bila menilik dari catatan sejarah ataupun
prasasti yang ada, tidak ada penjelasan atau catatan yang pasti mengenai
siapakah yang pertama kalinya mendirikan kerajaan Tarumanegara. Raja
yang pernah berkuasa dan sangat terkenal dalam catatan sejarah adalah
Purnawarman. Pada tahun417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan
Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai
penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000
ekor sapi kepada kaum brahmana.
Bukti keberadaan Kerajaan Taruma
diketahui melalui sumber-sumber yang berasal dari dalam maupun luar
negeri. Sumber dari dalam negeri berupa tujuh buah prasasti batu yang
ditemukan empat di Bogor, satu diJakarta dan satu di Lebak Banten. Dari
prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh
Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau memerintah
sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar
sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan
dari Kerajaan Salakanagara.
[sunting]Prasasti yang ditemukan
1. Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
2. Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan
Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta.
Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh
Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun
ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan
untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada
masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim
kemarau.
3. Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, ditemukan di
aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan
Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja
Purnawarman.
4. Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
5. Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
6. Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
7. Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah
berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan
Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama
Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang
termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.
Kampung Muara tempat
prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah
“kota pelabuhan sungai” yang bandarnya terletak di tepi pertemuan
Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih
digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan
oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah
hilir.
Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang
pada awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut,
yang mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang
masih melekat. Pada zaman ini, aksara tersebut belum mencapai taraf
modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah
(lontar) abad ke-16.
[sunting]Prasasti Pasir Muara
Di Bogor,
prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari
prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak
berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan :
ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda
Terjemahannya menurut Bosch:
Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8)
panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja
Sunda.
Karena angka tahunnya bercorak “sangkala” yang mengikuti
ketentuan “angkanam vamato gatih” (angka dibaca dari kanan), maka
prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
[sunting]Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran Ci Aruteun, seratus meter dari
pertemuan sungai tersebut dengan Ci Sadane; namun pada tahun1981
diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan
Purnawarman, beraksara Palawa, berbahasa Sansekerta. Isinya adalah puisi
empat baris, yang berbunyi:
vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam
Terjemahannya menurut Vogel:
Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini
kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman
penguasa Tarumanagara.
Selain itu, ada pula gambar sepasang
“pandatala” (jejak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan
&mdash& fungsinya seperti “tanda tangan” pada zaman sekarang.
Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah
itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi
Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara
pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama “Rajamandala” (raja
daerah) Pasir Muhara.
[sunting]Prasasti Telapak Gajah
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam
Terjemahannya:
Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti
Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.
Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara
Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i
Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama
Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga,
bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di
atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman
berukiran sepasang lebah.
Ukiran bendera dan sepasang lebah itu
dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing
perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan
nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh
para ahli diduga sebagai “huruf ikal” yang masih belum terpecahkan
bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda
di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah,
matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan).
Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Taruma dan ukiran
sepasang “bhramara” (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam
segala “kemudaan” nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui
kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.
[sunting]Prasasti Jambu
Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti
batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak,
Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir
(sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan
diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:
shriman data kertajnyo
narapatir – asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma
pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam – padavimbadavyam
arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam – bhavati
sukhahakaram shalyabhutam ripunam.
Terjemahannya menurut Vogel:
Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya
bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya
tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua
jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng
musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang
setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.
[sunting]Sumber berita dari luar negeri
Sumber-sumber dari luar negeri semuanya berasal dari berita Tiongkok.
1. Berita Fa Hien, tahun 414M dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi
menceritakan bahwa di Ye-po-ti (“Jawadwipa”) hanya sedikit dijumpai
orang-orang yang beragama Buddha, yang banyak adalah orang-orang yang
beragama Hindu dan “beragama kotor” (maksudnya animisme).
2. Berita
Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan
dari To-lo-mo (“Taruma”) yang terletak di sebelah selatan.
3. Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusan dari To-lo-mo.
Dari tiga berita di atas para ahli menyimpulkan bahwa istilah To-lo-mo
secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanegara.
Maka berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui beberapa aspek kehidupan tentang Taruma.
Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M.
Berdasarkan prasast-prasati tersebut diketahui raja yang memerintah pada
waktu itu adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut
prasasti Tugu, meliputi hapir seluruh Jawa Barat yang membentang dari
Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.
Medang Kamulan adalah wilayah atau kerajaan setengah mitologis yang dianggap pernah berdiri di Jawa Tengah dan mendahului Kerajaan Medang. “Kamulan” berarti “permulaan”, sehingga “Medang Kamulan” dapat diartikan sebagai “pra-Medang”.
Kerajaan ini dikatakan setengah mitologis karena tidak pernah
ditemukan bukti-bukti fisik keberadaannya. Sumber-sumber mengenai
kerajaan ini hanya berasal dari cerita-cerita rakyat, misalnya dalam legenda Loro Jonggrang,
dan penyebutan oleh beberapa naskah kuno. Cerita pewayangan versi Jawa
menyebutkan bahwa Medang Kamulan adalah tempat bertahtanya Batara Guru[1]. Dalam legenda Aji Saka, Medang Kamulan adalah negeri tempat berkuasanya Prabu Dewata Cengkar yang zalim. Cerita rakyat lain, di antaranya termasuk legenda Loro Jonggrang dan berdirinya Madura, menyatakan bahwa Medang Kamulan dikuasai oleh Prabu Gilingwesi.[2]
Legenda Aji Saka sendiri menyebutkan bahwa Bledug Kuwu di Kabupaten Grobogan adalah tempat munculnya Jaka Linglung setelah menaklukkan Prabu Dewata Cengkar.[3] Van der Meulen menduga, walaupun ia sendiri tidak yakin, bahwa Medang Kamulan dapat dinisbahkan kepada “Hasin-Medang-Kuwu-lang-pi-ya” yang diajukan van Orsoy,[4] dalam artikelnya tentang Kerajaan “Ho-Ling” yang disebut catatan Tiongkok. Hal ini membuka kemungkinan bahwa Medang Kamulan barangkali memang pernah ada. Baris ke-782 dan 783 dari naskah kedua Perjalanan Bujangga Manik dari abad ke-15 menyebutkan bahwa setelah Bujangga Manik meninggalkan Pulutan (sekarang adalah desa di sebelah barat Purwodadi, Jawa Tengah) ia tiba di “Medang Kamulan”. Selanjutnya, dikatakan pula bahwa setelah menyeberangi Sungai Wuluyu, tibalah ia di Gegelang yang terletak di sebelah selatan Medang Kamulan.[5]
Naskah inilah yang pertama kali menyebutkan bahwa memang ada tempat
bernama Medang Kamulan, meskipun tidak dikatakan bahwa itu adalah
kerajaan.
Dalam prasasti. kraton Sanjaya dikatakan terletak di Medang di
Poh Pitu (ri mdang ri poh pitu). Dimana letak Poh Pitu itu hingga kini
belum dapat ditentukan. Salah satu tempat yang diperkirakan sebagai
pusat Kerajaan Mataram itu terletak di Medari, Sleman. Di daerah
Medarintotex (GKBI Medari) pernah diketemukan bekas-bekas peninggalan
purbakala berupa fondasi bangunan dan sisa-sisa tembok keliling yang
terbuat dari batu andesit. Penggalian purbakala yang dilakukan disana
terpaksa dihentikan karena terbentur bekuan batuan lahar yang sangat
keras pada kedalaman satu meter dari permukaan tanah sekarang. Rupanya
daerah ini pernah mengalami musibah dilanda lahar panas. Dari beberapa
sisa bangunan yang telah diketemukan, terutama yang jelas berupa
bekas-bekas sebuah tembok keliling, dapat diperkirakan bahwa daerah itu
pada jaman dahulu merupakan tempat pemukiman.
Dugaan pusat Kerajaan Mataram di Medari itu bisa juga dirunut dari
kalimat “ri medang ri” yang lama-kelamaan dibaca sebagai “medari”.
Pendapat ini dilengkapi dengan terdapatnya desa kepitu di selatan
Medari. Bukankan dalam prasasti Medang disebut terletak di Poh Pitu. Poh
Pitu ini pada jaman sekarang berubah menjadi desa Kepitu. Uniknya, di
sekitar desa Kepitu tersebut tidak terdapat desa Kanem atau Kewolu.
Budayawan Linus Suryadi AG (almarhum) juga mempunyai pandangan serupa.
Hal ini didasarkan pada fakta lapangan bahwa di sekitar desa Kadisaba,
Sleman ditemukan bekas Wihara Budha. Dan tampaknya di wilayah ini banyak
bangunan sekolahan jaman kuno (Wihara).
Candi yang didirikan Sanjaya diketahui letaknya, yaitu di daerah
Gunung Wukir di Salam, Magelang. Maka letak istananya kemungkinan
terletak di sekitar candi tersebut. “Kraton Medang kemungkinan terletak
di dalam radius tertentu dari candi Gunung Wukir. Di sekitar daerah
Salam atau Salaman, “kata Joko Dwiyanto.
Tidak jauh dari Medari di desa Morangan dalam bulan September 1965 pernah diketemukan sebuah candi. Candi ini diberi nama Candi Batumiring.
Letaknya terbenam sedalam lima meter dibawah permukaan tanah sekarang.
Keadaan ini sama seperti yang dialami candi Sambisari di daerah Kalasan
yang juga diketemukan di kedalaman enam meter di bawah permukaan tanah
sekarang. Berarti candi-candi itu sempat terkubur lahar Merapi. Sayang
sekali, Candi ini tidak bisa ditampakkan kembali. Bahkan sekarang sudah
ditimbun tanah lagi oleh pemilik pekarangan.
Banyak pihak tentu akan berpendapat bahwa Kraton Medang terletak di
daerah Prambanan. Pendapat ini sangat beralasan. Prambanan merupakan
daerah yang sangat kaya peninggalan monumen dari jaman Mataram kuno.
Banyaknya candi yang sudah diketemukan memberi indikasi bahwa daerah ini
pernah menjadi pusat kegiatan masyarakat. Apalagi Candi Prambanan dan Candi Sewu yang bisa dipastikan sebagai candi kerajaan terdapat disini.
“Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Drs. Kusen (Almarhum) sampai
pada kesimpulan bahwa salah satu pusat Kerajaan Medang berada di
Randusari. Desa ini terletak sekitar 3 Km di sebelah timur Candi
Prambanan, “tambah Joko Dwiyanto. “Temuan emas di Wonoboyo semakin
menguatkan pedapatnya itu. Menurutnya, Wonoboyo merupakan pemukiman
bangsawan yang terletak di pusat Kerajaan. Memang, Wonoboyo dekat dengan
Randusari.”
Candi merupakan petunjuk terdapatnya aktivitas manusia masa Hindu.
Jika candi tersebut merupakan sebuah kumpulan yang luas, kemungkinan
besar pusat kerajaan juga berada di sekitar tempat itu. Kesimpulan yang
dibuat oleh Drs. Kusen (Almarhum) terhadap lokasi Candi Prambana, juga
dilakukan oleh Drs. Martinus Maria Soekarto kartoatmojo (Almarhum) di
daerah Candi Borobudur.
Kraton Medang ternyata tidak hanya di Poh Pitu saja. Raja Rakai
Kayuwangi pernah menempatkan kratonnya di Mammratipura (medang i
mamratipura).
Raja Rakai Panangkaran memindahkan pusat kerajaannya dari daerah Kedu
ke lembah di lereng Gunung Merapi. Memindahkan pusat kerajaannya ke
timur. Mungkin di daerah Sragen di sebelah timur Sungai Bengawan Solo
atau daerah Purwodadi/Grobogan.Pusat kerajan Rakai Watukura Dyah
Balitung berpusat di daerah Kedu Selatan mengingat gelar rakainya.
Kerajaan Mataram di Jawa Tengah mengalami kehancuran karena letusan
Gunung Merapi yang maha dahsyat, sehingga dalam anggapan para pujangga
hal itu dianggap sebagai kehancuran dunia pada akhir masa Kaliyuga. Maka
harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Karena itu
maka Mpu Sindok membangun kembali kerajaannya di Jawa Timur.
Rupa-rupanya Kerajaan itu tetap bernama Mataram. Ibukotanya bernama
Tamwlang. Letak Tamwlang mungkin di daerah Jombang dimana masih ada desa
Tambelang. Menurut prasasti Harinjing (726 Masehi), Watugaluh terletak
di Jawa Timur.
Yang masih menjadi pertanyaan kemudian adalah kaitan antara bekas
Kraton Boko dengan Candi Prambanan. Sebab di bekas Kraton Boko itu
terdapat replika Candi Prambanan sebagai tempat berdoa atau ‘caos
sesaji’. Namun ada dugaan lain, Kraton Boko hanya tempat peristirahatan
dan benteng terakhir. Dari paparan tadi bisa jadi ada pergeseran pusat
pemerintahan Mataram Kuno, dari wilayah Kedu selatan sampai di Sleman,
kemudian ke timur dan setelah menjadi Mataram mungkin di sebelah timur
laut kota Yogyakarta. Tentang hal ini banyak pakar berbeda pendapat.
Namun dari bukti-bukti lapangan dan referensi pustaka bisa dikaji
kemungkinan letak Mataram Hindu.
Desa
Medang dijumpai mulai dari daerah Bagelen di Purworejo, Jawa Tengah
sampai di dekat Madiun, Jawa Timur. Yang terbanyak ialah antara
Purwodadi/Grobogan dan Blora. Lokasi daerah ini sesuai pula dengan
keterangan yang ditulis oleh sumber-sumber Cina dari jaman Dinasti Tang
(618-906 Masehi). Sumber ini menyebut Jawa sebagai Ho-ling. Dikatakan
bahwa Ho-ling adalah kerajaan yang makmur. Ada sebuah gua yang selalu
mengeluarkan air garam (bledug). Ho-ling ini sering disamakan dengan
Kalingga dalam cerita tutur rakyat Jawa Tengah.
Keterangan tentang adanya gua yang selalu mengeluarkan air garam
memang cocok dengan keadan di Purwodadi, Jawa Tengah. Di desa Kuwu di
daerah Purwodadi terdapat kawah yang selalu menyemburkan air garam.
Penduduk setempat menyebutnya Bledug Kuwu. Orang di situ membuat garam
dari air yang mengalir dari kawah tersebut.
“Pendapat tersebut dikemukakan oleh Boechari (almarhum). Beliau
menempatkan kronologi kerajaan Ho-ling ini sebelum Medang. Sedangkan
Kalingga sebenarnya hanya ada dalam cerita rakyat. Tidak ada bukti
sejarah yang yang mendukumg keberadaannya, “tambah Joko Dwiyanto”.
Karena Boechari menempatkan kronologi Ho-ling lebih tua dari
Medang, yang dianggapnya terletak di Grobogan, maka masyarakat
menempatkan Medang Kamulan di daerah Grobogan tersebut. “Kamulan berarti
asal, yang mula-mula, yang pertama-tama. Jadi Medang Kamulan berarti
letak Medang yang pertama atau asal mula medang ,”ungkap Joko Dwiyanto”.
Berita Cina selanjutnya menyebutkan bahwa Ki-yen telah memindahkan
ibukota Ho-ling ke timur. Pemindahan pusat kerajaan ini terjadi tahun
899-911 Masehi. Van Der Meulen memperkirakan perpindahan itu terjadi
dari sekitar Pegunungan Dieng ke kaki sebelah timur Gunung Ungaran, Jawa
Tengah. Tempat yang dimaksud adalah desa Bergas Lor dan Bergas Kidul.
Kedua desa ini terletak beberapa kilometer di selatan kota Ungaran. Di
tempat itu terdapat Candi Sikunir. Dari candi ini banyak patung yang
telah dipindahkan ke Museum Nasional Jakarta. Kurang lebih ada sepuluh
arca. Belum lagi arca-arca yang dibawa secara ilegal. Di sekitar wilayah
itu juga diketemukan peninggalan di Pendem, Karangjati, dan Mijel.
Bekas-bekas pemandian juga diketemukan di Kali Taman dan Sindang Beji.
Jumlah cincin emas yang pernah diketemukan dan kini disimpan di Museum
Nasional Jakarta sebagian besar berasal dari Dieng dan sekitar Gunung
Ungaran.Di tempat itu diketemukan 77 buah cincin.
Dari penelitian Dr. Agus Pudjoarianto dari Fakultas Biologi UGM, di
Dieng sudah ada kegiatan manusia dari tahun 500 Masehi. Dari telaahan
serbuk sari yang dilakukan kegiatan yang dilakukan manusia berkelompok
ini bisa
jadi merupakan sebuah komunitas masyarakat kerajaan. Menurutnya
terdapat kemiripan tumbuhan yang di tanam di Dieng dengan beberapa
bagian di Jawa Barat. Dari asumsi ini bisa diduga bahwa awal Kerajaan
Medang dari Jawa Barat kemudian berkembang di Jawa Tengah antara lain di
Dieng. Dugaan ini diperkuat dengan banyaknya candi yang dibangun di
wilayah ini. Bahkan dari kisah wayang Lahirnya Abimanyu yang mandi di
Sungai Serayu (sir rahayu) terlihat adanya pemahaman akan adanya
sosialitas masyarakat kerajaan. Diperkuat dengan nama candi-candi yang
ada di Dieng yang diambil dari nama wayang bisa jadi di lereng Gunung
Sindoro ini pernah lahir kerajaan. Dari telaah serbuk sari juga didapat
bukti adanya lumpur vulkanik yang tebal yang menutupi kegiatan
sebelumnya. Temuan ini memperkuat asumsi hancurnya Kerajaan Medang oleh
abu dahsyat Merapi. Kota Dieng yang selalu berkabut dalam bahasa Jawa
disebut “Kamulan”.
Jika kita melinta s
di jalan raya Yogyakarta – Magelang, tepatnya di daerah kecamatan Salam
secara tidak sengaja kita akan menengok ke selatan jalan.
Kuburan-kuburan Cina yang terletak di lereng bukit menjadi penyebabnya.
Sayang, banyak dari kita tidak tahu bahwa bukit itu menyimpan sejarah
masa lalu yang penting.
Gunung Gendol, demikian penduduk setempat menyebutnya, pernah menjadi
saksi meletusnya Gunung Merapi sepuluh abad silam. Menurut Van
Bemmelen, seorang ahli geologi, letusan Merapi yang terhebat dalam
sejarahnya itu menyebabkan sebagian besar puncaknya lenyap. Lapisan
tanah bergeser ke arah barat daya, sehingga terjadi lipatan. Gerakan
tanah ini membentur Pegunungan Menoreh dan membentuk Gunung Gendol.
Di Gunung Gendol ini pula babak baru Kerajaan Mataram Kuno dimulai.
Peristiwanya tercatat dalam prasasti Canggal yang diketemukan di halaman
Candi Gunung Wukir. Candi ini terletak di salah satu puncak Gunung
Gendol. Prasasti ini menulis bahwa Raja sanjaya telah mendirikan lingga
diatas Bukit Sthirangga untuk keselamatan rakyatnya pada hari Senin
tanggal 13 paro terang bulan Kartika 654 Saka atau 732 Masehi. Lingga
itu ialah Candi Gunung Wukir yang hingga kini masih ada sisa-sisanya.
Pendirian lingga untuk memperingati bahwa Sanjaya telah dapat
membangun kembali Kerajaan dan bertahta setelah menaklukkan
musuh-musuhnya. Musuh-musuh itu telah menyerang Sanna, raja yang
berkuasa sebelum Sanjaya. Pusat kerajaan Sanna dihancurkan. Ibukota
kerajaan diserbu dan dijarah. Karena itu setelah Sanjaya dinobatkan
mejadi raja, perlu dibangun ibukota baru dengan istana baru disertai
pembangunan candi untuk pemujaan lingga kerajaan. Hal ini berhubungan
dengan kepercayaan bahwa istana yang telah diserbu musuh sudah
kehilangan tuahnya.
Bangunan suci yang didirikan Sanjaya terletak di wilayah
Kunjarakunja. Tentang nama Kunjarakunja itu, Poerbatjaraka pernah
mengemukakan pendapat bahwa yang yang dimaksud dengan daerah itu adalah
daerah Sleman, Yogyakarta sekarang, berdasarkan arti kata itu, yaitu
hutan Gajah dan adanya daerah wana ing alas i Saliman. Kata Saliman diartikan sebagai daerah Sleman sekarang.
Nama Sanjaya semakin jelas posisinya dalam sejarah Mataram Kuno
dengan diketemukannya prasasti Mantyasih (907 Masehi) dan Wanua Tengah
III (908 Masehi). Kedua prasasti yang dibuat oleh Dyah Balitung itu
berisi daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno.
Urutan pertama raja-raja tersebut ditempati oleh Rakai Mataram Sang Ratu
Sanjaya (prasasti Mantyasih) dan Rahyangta ri Medang dapat disamakan
dengan Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Prasasti Mantyasih dibuat untuk
menghormati leluhur yang telah diperdewakan di Medang di Poh Pitu.
Disini untuk pertama kalinya nama Medang disebut.
“Medang adalah nama kerajaan sebelum bernama Mataram. Jadi, kerajaan
Medang sama dengan kerajaan Mataram. Lebih tepatnya, Medang adalah
embrio Mataram,” kata Drs. Joko Dwiyanto-Dosen Fakultas Arkeologi UGM.
Perpindahan Kerajaan Medang
Pada
umumnya sebutan Mataram Kuno lazim dipakai untuk menyebut nama Kerajaan
ini pada periode Jawa Tengah. Nama Mataram merujuk pada nama ibu kota
kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam
yang berdiri pada abad ke-16, biasa pula disebut dengan nama Kerajaan
Mataram Hindu. Istilah Kerajaan Medang dipakai untuk menyebut nama
kerajaan pada periode Jawa Timur. Namun berdasarkan prasasti-prasasti
yang telah ditemukan sebetulnya nama Medang sudah dikenal sejak periode
sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah.
Pada
kerajaan di Jawa Tengah ,raja Wawa(924-929)serta merta tampil sebagai
penguasa di jawa tengah, dibantu oleh pati sekaligus menantunya, Mpu
Sindok, Wawa digantikan Mpu
Sindok (929-947) yang dikenal sebagai raja berjiwa prajurid, dan sangat
toleran terhadap pemeluk agama Budha Mahayana ,serta Sang Hyang
Kamahaniyanikan berhasil digubah kedalam Bahasa Jawa Kuno dari Bahasa
Sanksekerta. Kitap ini memuat cerita tentang dewa-dewa yang mirip dengan
relief yang ada di candi Borobudur. Sebuah kitav agama Hindu Syiwa
Brahmanapurana yang berisikan Kosmologi,Kosmogoni, sejarah para resi,
dan cerita pertikaian antar kasta juga diterbitkan dalam waktu hamper
bersamaan.
Sementara itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode TengahKerajaan
Mataram, yaitu merujuk kepada salah daerah ibu kota kerajaan ini.
Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri
pada abad ke-16, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut
dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu. Kerajaan
Medang mengalami beberapa masa perpindahan yang cukup siknifikan yaitu :
a) Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
b) Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
c) Medang i Poh Pitu (zama n Dyah Balitung)
d) Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
e) Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
f) Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
g) Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
Pada
abad ke-8 kerajaan Pra Mataram Islam (Mataram Kuno) memerintah di Jawa
Tengah,dengan Sanjaya (Syiwaistik) berkuasa di Kawasan Utara (kedu),
sedangkan Syailendra (Budha Mahayana) berkuasa dikawasan selatan
(Bagelan dan Mataram ). Candi –candi Hindu (Dieng, Prambanan, dll) dan
Budha (Borobudur, Mendut Kalasan, dll) membuktikan pada masa bersamaan
di Jawa terdapat dua agama besar yang bertoleransi.
Tetapi
seiring adanya pindahnya kerajaan Mataram kuno ke Jawa Timur disebabkan
letusan Gunung Merapi , Mpu sindok pada tahun 929 memindahkan pusat
kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.Menurut catatan sejarah,
tempat baru tersebut adalah watugaluh, yang terletak disungai Brantas,
sekarang kira-kira adalah wilayah Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Kerajaan baru ini tudak lagi disebut Mataram, namun Medang. Meskipun
demikian, beberapa literature masih menyebutkan sebagai Mataram II.
Selain itu sebab pemerintahan Kerajaan Mataram kuno juga sempat berpindah ke Jawa Timur disebabkan selama
abad ke-7 sampai ke-9 terjadi serangan-serangan dari Sriwijaya ke
Kerajaan Mataram Kuno. Besarnya pengaruh Kerajaan Mataram Kuno semakin
terdesak ke wilayah timur.seperti yang telah diketahui sekarang tidak
diketahui nama kerajaan di JawaTengah ini sebelum masa pemerintahan
Sanjaya. Nama Mataram mungkin baru dipakai sejak Sanjaya, ia bergelar
rakai Mataram, demikian pula nama Medang sebagai pusat kerajaan. Cerita
Parahyangan menyebutkan nama kerajaan Sanna dan Sanjaya itu Galuh.
Memang dari prasasti Sojomerto dan beberapaprasasti lain yang hingga
kini belum dapat dibaca, tetapi jelas menggunakan hurug Pallawa, yang
ditemukan di daerah Pekalongan, mungkin sekali pusat kerajaan wangsa
Sailendra itu mula-mula di daerah Pekalongan sekarang.
Setelah
Sri Isyanatunggawijaya meninggal maka kerajaan medang di pimpin oleh
Raja Sri Dharmawangsa teguh Anantawikramatunggadewa yaitu anaknya Sri
Isyanatunggawijaya dari perkawinannya dengan Raja Lokapala. Dharmawangsa
menikah dengan cucu Isyanatunggawiyaya yang lain dan mewarisi tahta
mertuanya (991-1016). Selama pemerintahannya telah diterbitkan berbagai
karya, diantaranya Kakawin Mahabrata, yang diterjemahkan kedalam Bahasa Jawa Kuna dari kitap Mahabrata India. Dharmawangsa
menyerang Sriwijaya untuk merebut bagian selatan wilayahnya agar dapat
menguasai selat sunda yang sangat penting bagi perdagangan(992).
Sriwijaya
dibantu Raja Wurawuri dari semenanjung Melayu membalas serangan
Dharmawangsa Teguh(1016). Serangan terjadi sewaktu pesta perkawinan
agung antara putri Dharmawangsa,Dharmawangsa, Sri dan Airlangga(16
tahun), keponakannya, Raja dan Para pembesar Negara gugur, tumpas-tapis,
namun Airlanggadan pengiring setianya Narottama, dapat menyingkir ke
pegunungan Wonogiri. Mereka hidup bersama- sama para pendeta Hindu dan
biksu Budha selama dua tahun.
Airlangga
untuk menduduki tahta kerajaan, memanfaatkan situasi vacuum of power di
Jawa Timur ketika tentara pendudukan Wurawari disana terpaksa ditarik
kembali ke, semenanjung melayu yang tengah diserang colomandala dari
india selatan. Airlangga mengawini seorang putri Sriwijaya, tentunya
berpotensi memproduksi ancaman dari lawan.
Setelah beberapa tahun kemudian berada
di hutan,akhirnya pada tahun 1019, airlangga berhasil mempersatukan
wilayah kerajaan Medang yang telah terpecah, membangun kembali kerajaan,
dan berdamai dengan Sriwijay. Kerajaan baru ini dikenal dengan kerajaan
Kahuripan , yang wilayahnya membentang dari pasuruan di timur hingga
Madiun dibarat. Airlangga memperluaswilayahnya kerajaan hingga ke Jawa
Tengah dan Bali. Pada tahun 1025, Airlangga memperlebar pengaruh
Kahuripan seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Pantai Utara Jawa
terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting
untuk pertama kalinya.
Setelah dikukuhkan sebagai pewaris tahta mertuanya,
Dharmawangsa Teguh, Airlangga mengganti nama kerajaan Medang Kamulan
menjadi Kahuripan dengan ibukota Wulan Mas (1037). Setelah kerajaan
Medang berpindah menjadi Kahuripan, raja Airlangga berhadapa dengan
masalah pewarisan tahtanya sebagai raja,pewarisan itu yaitu Sanggrammawijaya, memilih menjadi pertapa dari pada mengganti Airlangga. Pada tahun 1045, Airlangga membagi Kahuripan menjadi
dua kerajaan untuk putranya yaitu Jenggala dan Kediri (penjulu),
Airlangga sendiri menjadi pertapa dan meninggal pada tahun 1049.
Airlangga dimakamkan di candi Belahan dengan perluhuran sebagai wisnu
naik burung Garuda.
Dengan
pemecahan Kerajaan Kahuripan itu maka Pecahan kerajaan Medang
berakhir,kerajaan Janggala tidak mampu berkembang menjadi Negara besar
sehingga lenyapdari percaturan politik sedangkan kerajaan
Panjalu atau Kediri semakin berkembang, dangan memiliki kekuasaan
sampai perairan Indonesia bagian barat dan timur dengan raja Jayabaya.
Sumber-sumber Sejarah Kerajaan Medang
Sumber-sumber
sejarah yang menyebutkan keberadaan kerajaan Medang, sumber-sumber ini
dalam bentuk candi dan prasasti antara lain
a) Prasasti Mantyasih yaitu Prasasti
Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas
bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh
Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Sanjaya sendiri
mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan
jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang
memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna,
negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas
dukungan ibunya, yaitu Sannaha saudara perempuan Sanna.
b) Prasasti
Sanggurah merupakan prasasti berangka tahun 982 Masehi yang ditemukan
di daerah Malang dan menyebut nama penguasa daerah itu, Sri Maharaja
Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga (Dyah Wawa). Prasasti
berbentuk tablet ini disebut juga Prasasti Minto karena dihadiahkan
oleh Raffles kepada Lord Minto, keduanya pernah memimpin Hindia Belanda
ketika Britania Raya menguasai Belanda pada dasawarsa kedua abad ke-19.
c) Prasasti dinoyo yaitu prasasti yang ditemukan terputus menjadi tiga bagian.
Bagian yang tengah di temukan di Desa Dinoyo, sedang dibagian atas dan
bagian bawah ditemukan di Desa Merjosari, kira-kira 2 Km disebelah
barat Dinoyo. Mengingat kasus di gunung Wukir dan prasasti Canggal,
mungkin sekali prasasti Dinoyo ini asalnya justru dari Merjosari, yang
memangternyata menghasilkan sisa-sisa bangunan. De casparis menduga
bahwa batu prasasti itu berasal dari Desa Kejuron, pendapat ini mungin
kurang dapat diterima karena Kejuron mungkin justru merupakan pusat
kerajaan, sedang prasasti tentulah tidak didirikan dipusat kerajaan,
tetapi di dekat candinya.
d) Prasasti
Wantil, Mpu Manuku membangun ibu kota baru di desa Mamrati sehingga ia
pun dijuluki sebagai Rakai Mamrati. Istana baru itu bernama Mamratipura,
sebagai pengganti ibu kota yang lama, yaitu Mataram.Prasasti Wantil
disebut juga prasasti Siwagreha yang dikeluarkan pada tanggal 12
November856. Prasasti ini selain menyebut pendirian istana Mamratipura,
juga menyebut tentang pendirian bangunan suci Siwagreha, yang
diterjemahkan sebagai Candi Siwa.
Selain
meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di
Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kerajaan Mataram/Medang juga membangun
banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha. Temuan
Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 di Wonoboyo,
Klaten, Jawa Tengah; menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya
kerajaan Mataram.
Candi-candi
peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan,
Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, dan tentu saja
yang paling kolosal adalah Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun
oleh Sailendrawangsa ini telah ditetapkan UNESCO (PBB) sebagai salah
satu warisan budaya dunia.
Sistem Pemerintahan Kerajaan Medang
Didalam
prasasti Mantyasih , Desa Mantyasih disebut sima kapatiihan karena yang
mendapat anugrah adalah lima orang patih di Mantyasih, didalam prasasti
Sangguran disebut sima kajurugusalyan di Mananjung, karena ada jabatan
juru gusali, yaitu ketua para pandai besi, didalam prasasti Balingawan
disebut sima kamulan, karena semula Desa Balingawan itu selalu diganggu
oleh penjahat sehingga penduduk sering membayar denda atas pembunuhan
gelap dan perkelahian gelap yang mengakibatkan seseorang menderita
luka-luka. Didalam prasasti telang ada istilah kamulan dan rumah kamulan
yang jelas tidak ada hubungan dengan tempat pemujaan cikal bakal Desa
telang, karena menjadi pokok pembicaraan dalam prasasti itu ialah tempat
penyeberangan. Berdasarkan itu semua dapat disimpulkan disini bahwa
Desa Bhumisambhara itu ialah sima kamulan karena dianugrahkan kepada
pejabat mula. Saying sekali hingga sekarang belum jelas apa tugas
seorang mula dalam masyarakat jawa kuno. Didalam prasasti Mantyasih
tersebut tertulis daftar raja-raja Medang yang telah berkuasa dalam
setiap masa pemerintahannya.daftar raja-raja tersebut sebagai berikut:
1. Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang (Karya Candi Canggal / Penganut Hindu Syiwa)
2. Rakai
Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Sailendra(Membangun Candi
Borobudur,sebagai penganut budha mahaya" dinasti berpindah agama dari
leluhurnya yang hindu syiwa")membangun juga candi Kalasan , sebagai
pengormatan leluhur").
3. Rakai
Panunggalan alias Dharanindra Menaklukkan Sriwijaya bahkan sampai ke
kamboja dan campa berjuluk Wirawairimathana (penumpas musuh perwira)
4. Rakai Warak alias Samaragrawira Ayah dari Balaputradewa raja Sriwijaya Wirawairimathana (penumpas musuh perwira)
5. Rakai Garung alias Samaratungga Sri Maharaja Samarottungga,
Atau
kadang ditulis Samaratungga, adalah raja SriwijayaWangsa Syailendra
yang memerintah pada tahun 792 – 835. Tidak seperti pendahulunya yang
ekspansionis, pada masa pemerintahannya, Sriwijaya lebih mengedepankan
pengembangan agama dan budaya. Pada tahun 825, dia menyelesaikan
pembangunan candi Borobudur yang menjadi kebanggaan Indonesia.
Untuk
memperkuat aliansi antara wangsa Syailendra dengan penguasa Sriwijaya
terdahulu, Samaratungga menikahi Dewi Tara, putri Dharmasetu. Dari
pernikahan itu Samaratungga memiliki seorang putra pewaris tahta,
Balaputradewa, dan Pramodhawardhani yang menikah dengan Rakai Pikatan,
putra Sri Maharaja Rakai Garung, raja kelima Kerajaan Medang.
6. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani,
Awal kebangkitan Wangsa Sanjaya (Candi
Prambanan) Rakai Pikatan terdapat dalam daftar para raja versi prasasti
Mantyasih. Nama aslinya menurut prasasti Argapura adalah Mpu Manuku.
Pada prasasti Munduan tahun 807 diketahui Mpu Manuku menjabat sebagai
Rakai Patapan. Kemudian pada prasasti Kayumwungan tahun 824 jabatan
Rakai Patapan dipegang oleh Mpu Palar. Mungkin saat itu Mpu Manuku sudah
pindah jabatan menjadi Rakai Pikatan. Akan tetapi, pada prasasti Tulang
Air tahun 850 Mpu Manuku kembali bergelar Rakai Patapan.
Sedangkan
menurut prasasti Gondosuli, Mpu Palar telah meninggal sebelum tahun
832. Kiranya daerah Patapan kembali menjadi tanggung jawab Mpu Manuku,
meskipun saat itu ia sudah menjadi maharaja. Tradisi seperti ini memang
berlaku dalam sejarah Kerajaan Medang di mana seorang raja mencantumkan
pula gelar lamanya sebagai kepala daerah, misalnya Maharaja Rakai
Watukura Dyah Balitung.
7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
Menurut
prasasti Wantil atau prasasti Siwagerha tanggal 12 November 856, Dyah
Lokapala naik takhta menggantikan ayahnya, yaitu Sang Jatiningrat (gelar
Rakai Pikatan sebagai brahmana). Pengangkatan putra bungsu sebagai raja
ini didasarkan pada jasa kepahlawanan Dyah Lokapala dalam menumpas
musuh ayahnya, yang bermarkas di timbunan batu di atas bukit Ratu Baka.
(Pusat kerajaan tidak lagi di mataram tapi di mamratipu
8. Rakai Watuhumalang
Rakai
Pikatan memiliki beberapa orang anak, antara lain Rakai Gurunwangi
(prasasti Plaosan) dan Rakai Kayuwangi (prasasti Argapura). Sedangkan
Rakai Watuhumalang mungkin juga putra Rakai Pikatan atau mungkin
menantunya. akhir periode rakai pikatan terjadi perpecahan di Kerajaan
Medang akibat perebutan kuasa antara Gurunwangi dan kayuwangi namun
sepeninggal kayuwangi Watuhumalang yang menduduki tahta.
9. Rakai Watukura Dyah Balitung
Rakai
Watuhumalang memiliki putra bernama Mpu Daksa (prasasti Telahap) dan
menantu bernama Dyah Balitung (prasasti Mantyasih). Dyah Balitung inilah
yang mungkin berhasil menjadi pahlawan dalam menaklukkan Rakai
Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga takhta pun jatuh kepadanya
sepeninggal Rakai Watukura. Pada akhir pemerintahan Dyah Balitung
terjadi persekutuan antara Mpu Daksa dengan Rakai Gurunwangi (prasasti
Taji Gunung). Kiranya pemerintahan Dyah Balitung berakhir oleh kudeta
yang dilakukan kedua tokoh tersebut. memindahkan pusat pemerintahan
kerajaan medang dari mamratipura ke poh-pitu(sekitar kedu)
10. Mpu Daksa
Mpu
Daksa naik takhta menggantikan Dyah Balitung yang merupakan saudara
iparnya. Hubungan kekerabatan ini berdasarkan bukti bahwa Daksa sering
disebut namanya bersamaan dengan istri Balitung dalam beberapa prasasti.
Selain itu juga diperkuat dengan analisis sejarawan Boechari terhadap
berita Cina dari Dinasti TangTat So Kan Hiung, yang artinya “Daksa,
saudara raja yang gagah berani”
11. Rakai Layang Dyah Tulodong
Dyah
Tulodhong dianggap naik takhta menggantikan Mpu Daksa. Dalam prasasti
Ritihang yang dikeluarkan oleh Mpu Daksa terdapat tokoh Rakryan Layang
namun nama aslinya tidak terbaca. Ditinjau dari ciri-cirinya, tokoh
Rakryan Layang ini seorang wanita berkedudukan tinggi, jadi tidak
mungkin sama dengan Dyah Tulodhong. Mungkin Rakryan Layang adalah putri
Mpu Daksa. Dyah Tulodhong berhasil menikahinya sehingga ia pun ikut
mendapatkan gelar Rakai Layang, bahkan naik takhta menggantikan
mertuanya, yaitu Mpu Daksa. Dalam prasasti Lintakan Dyah Tulodhong
disebut sebagai putra dari seseorang yang dimakamkan di Turu Mangambil.
12. Rakai Sumba Dyah Wawa
Dalam
prasasti Wulakan tanggal 14 Februari 928, Dyah Wawa mengaku sebagai
anak Kryan Landheyan sang Lumah ri Alas (putra Kryan Landheyan yang
dimakamkan di hutan). Nama ayahnya ini mirip dengan Rakryan Landhayan,
yaitu ipar Rakai Kayuwangi yang melakukan penculikan dalam peristiwa
Wuatan Tija.
13. Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
Istana
Kerajaan Medang pada awal berdirinya diperkirakan terletak di daerah
Mataram (dekat Yogyakarta sekarang). Kemudian pada masa pemerintahan
Rakai Pikatan dipindah ke Mamrati (daerah Kedu). Lalu, pada masa
pemerintahan Dyah Balitung sudah pindah lagi ke Poh Pitu (masih di
sekitar Kedu). Kemudian pada zaman Dyah Wawa diperkirakan kembali ke
daerah Mataram.
Mpu
Sindok kemudian memindahkan istana Medang ke wilayah Jawa Timur
sekarang. Dalam beberapa prasastinya, ia menyebut kalau kerajaannya
merupakan kelanjutan dari Kerajaan Medang di Jawa Tengah. Misalnya,
ditemukan kalimat berbunyi Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i
Bhumi Mataram i Watugaluh.
14. Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya
Sri
Isyana Tunggawijaya merupakan putri dari Mpu Sindok, yaitu raja yang
telah memindahkan istana Kerajaan Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa
Timur. Tidak banyak diketahui tentang masa pemerintahannya. Suaminya
yang bernama Sri Lokapala merupakan seorang bangsawan dari pulau Bali.
Peninggalan
sejarah Sri Lokapala berupa prasasti Gedangan tahun 950 yang berisi
tentang anugerah desa Bungur Lor dan desa Asana kepada para pendeta
Buddha di Bodhinimba. Namun, prasasti Gedangan ini merupakan prasasti
tiruan yang dikeluarkan pada zaman Kerajaan Majapahit untuk mengganti
prasasti asli yang sudah rusak.
Prasasti
atau piagam dianggap sebagai benda pusaka yang diwariskan secara
turun-temurun. Apabila prasasti tersebut mengalami kerusakan, ahli waris
biasanya memohon kepada raja yang sedang berkuasa untuk
memperbaharuinya. Prasasti pembaharuan ini disebut dengan istilah
prasasti tinulad.
Tidak
diketahui dengan pasti kapan pemerintahan Sri Lokapala dan Sri Isyana
Tunggawijaya berakhir. Menurut prasasti Pucangan, yang menjadi raja
selanjutnya adalah putra mereka yang bernama Sri Makuthawangsawardhana.
15. Makuthawangsawardhana
Jalannya
pemerintahan Makutawangsawardhana tidak diketahui dengan pasti. Namanya
hanya ditemukan dalam prasasti Pucangan sebagai kakek Airlangga.
Disebutkan bahwa, Makutawangsawardhana adalah putra pasangan Sri
Lokapala dan Sri Isana Tunggawijaya putri Mpu Sindok.
Prasasti
Pucangan juga menyebut Makutawangsawardhana memiliki putri bernama
Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga. Dalam prasasti itu juga disebut
adanya nama seorang raja bernama Dharmawangsa, namun hubungannya dengan
Makutawangsawardhana tidak dijelaskan.
16. Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir
Prasasti
Pucangan tahun 1041 dikeluarkan oleh raja bernama Airlangga yang
menyebut dirinya sebagai anggota keluarga Dharmawangsa Teguh. Disebutkan
pula bahwa Airlangga adalah putra pasangan Mahendradatta dengan Udayana
raja Bali.
Adapun
Mahendradatta adalah putri Makuthawangsawardhana dari Wangsa Isana.
Airlangga sendiri kemudian menjadi menantu Dharmawangsa.
Keadaan masyarakat
Didalam
struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno, raja(sri maharaja) ialah
penguasa tertinggi.sesuai dengan landasan kosmogonis,raja ialah
penjelmaan dewa di dunia. Hal itu ternyata dari gelar abhiseka dan
pujian-pujian kepada raja didalam berbagai prasasti dan kitab-kitap
susastra Jawa kuno sejak raja Airlangga. Dari zaman Mataram kuno hanya
ada dua orang raja yang bergelar abhiseka
dengan unsure tunggadewa, yaitu Bhujayotunggadewa didalam prasasti dari
Candi Plaosan Lor dan Rakai Layang Dyah Tulodong Sri
Sajjanasanmatanuragatungadewa. Didalam kerajaan Mataram secara khusus
menganut suatu landasan kosmogonis yaitu kepercayaan akan arus adanya
suatu keserasian antara dunia manusia ini ( mikrokosmos) dengan alam
semesta (mikrokosmos).
Disini akan
disajikan gambaran besarnya saja dalam garis besarnya saja, dimulai
dengaan golongan elite ditingkat pusat. Di ibu kota kerajaan, yang
menurut berita-berita cina dikelilingi oleh dinding, baik dari batu bata
maupun dari batang-batang kayu, terdapat istana raja yang juga
dikelilingi oleh dinding. Didalam istana itulah berdiam raja dan
keluarganya, yaitu permaisuri, selir selir, dan anak-anaknya yang belum
dewasa, dan para hamba istana(hulun haji, watek I jro). Diluar istana,
masih didalam lingkungan dindinga kota, terdapat kediaman putra mahkota
(rake hino), dan tiga orang adiknya (rakai hulu, rakai sirikan dan rakai
wra), dan kediaman para pejabat tinggi kerajaan.
Dilingkungan
tembok ibu kota kerajaan tinggal kelompok elite dan non-elite, raja dan
keluarganya mengmbil tempat tersendiri. Hungungan antara raja secara
langsung dengan kelompok non-elite sulit terlaksana, sedang dengan
kelompok elite birokrasi saja hubungan itu henya terjadi secara formal.
Didalam
landasan Kosmogonis masyarakat yaitu menurut kepercayaan ini manusia
selalu berada dibawah pengaruah kekuatan-kekuatan yang terpancar dari
bintang-bintang dan planet-planet. Kekuatan itu dapat membawa kebahagian
, kesejahteraan , dan perdamaian atau bencana kepada manusia,
tergantung dari dapat atau tidaknya individu , kelompok-kelompok sosial,
terutama kerajaan,menyerasikan hidup dan semua kegiatannya dengan gerak
alam semesta.
Agama
resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu
aliran Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan
berganti menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai
Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup
berdampingan dengan penuh toleransi. Didalam stratifikasi sosialnya
masyarakat didalam kerajaan Medang masih menggunakan kasta-kasta didalam
agama Hindu baik kedudukannya didalam struktur birokrasi maupun
kedudukannya berdasarkan kekayaan materill.
Menurut
ajaran agama Hindu , alam ini terdiri atas suatu benua pusat berbentuk
lingkaran, yang bernama jambudwipa. Benua ini dilingkari oleh tujuh
lautan dan tujuh daratan, dan semua itu di batasi oleh suatu pegunungan
yang tinggi. Ditengah –tengah Jambudwipa berdiri gunung Meru sebagai
pusat alam semesta. Matahari , bulan , dan bintang-bintang bergerak
mengililingi Gunung Meru itu. Di Puncaknya terdapat kota dewa-dewa, yang
di kelilingai oleh tempat tinggal ke delapan dewa penjaga mata angin
(Lokapala).
Dengan
singkat dapat dikatakan bahwa seorang raja harus berpegang teguh kepada
dharma, bersikap adil, menghukum yang bersalah dan memberikan anugrah
kepada mereka yang berjasa( wnang wgraha anugraha), bijaksana, tidak
boleh sewenang-wenangnya. Waspada terhadapgejolak dikalangan rakyatnya,
berusaha agar rakyat senantiasa memperoleh rasa tentram dan bahagia, dan
dapat memperlihatkan wibawanya dengan kekuatan angkatan perang dan
harta kekayaannya.
Di
bidang ekonomi penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai
periode Wwatan pada umumnya bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang
memangterkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu
Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim.
Dibeberapa
prasasti telah memberi keterangan akan adanya masyarakat yang mengenel
ekonomi di wilayah kerajaan,di pedesaan pertama-tama sudah mengenal
hasil bumi seperti beras, buah-buahan, sirih pinah, dan buah mengkudu.
Juga hasil industry rumah tangga, seperti alat perkakas dari besi dan
tembaga, pakaian, paying keeranjang dan barang-barang anyaman , kejang
kepis, gula, arang, dan kapur sirih. Binatang ternak seperti kerbau,
sapi, kambing , itik dan ayam serta telurnya juga diperjualbelikan.
Prasasti
tidak menyebutkan komoditas ekspor, dan hanya ada satu barang yang
mungkin diimpor yaitu kain buatan India (wdihan buat kling). Akan
tetapi, data tentang masalah ekspor-impor itu diperoleh darr
berita-berita Cina. Ekspor dari pelabuhan –pelabuhan di Jawa terdiri
atas hasil bumi dan hutan Pulau Jawa sendiri dan dari Pulau-pulau yang
lain, terutama dari Kaliimantan dan Indonesian bagian timur. Komoditas
ekspor itu anatara lain garam yang di hasilkan dipantai utara PUlau
Jawa, terutama didaerah Kembang dan Tuban , kain Katun dan Kapuk, Sutra
tipis dan Sutra kuning, damas, kain brokat berwarna-warni, kulit penyu,
pinang, pisang raja, gula tebu, kemukus, cula badak, mutiara, belerang,
gaharu, kayu sepang, kayu cendana.,cengkeh, pala, marica, dammar, kapur
barus dan lain-lainnya.
tolong kalau sudah dibaca tinggalkan komen diblog ini buat kenang kenangan
BalasHapuskok panjang banget sich males ngeprin nya tau ahhh,..,.,.,
BalasHapusterimah kasih atas pengertiannya thanksssss
BalasHapusmaaf, pengertian sima di artikel itu apa?
BalasHapus