DALIL PERINTAH & LARANGAN
Bagi kaum Salafi & Wahabi, segala urusan di dalam agama  hanya ada di antara dua kategori, yaitu: 
1.       Yang diperintah atau dicontohkan,  yaitu setiap amalan yang jelas ada perintahnya, baik dari Allah Swt. di dalam  al-Qur'an maupun dari Rasulullah Saw., atau setiap amalan yang dicontohkan oleh  Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. 
2.       Yang dilarang , yaitu setiap amalan  yang jelas ada larangannya dari Allah maupun dari Rasulullah Saw.   
Dalil yang mereka kemukakan di antaranya adalah: 
"… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya." (QS. al-Hasyr: 7)
Sebenarnya, ayat di atas secara keseluruhan sedang berbicara  tentang  fai' (harta rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa  pertempuran), sehingga tafsiran asalnya adalah "apa yang diberikan Rasul  (dari harta fai') kepadamu maka terimalah dia" (lihat Tafsir  Jalalain). Tetapi para mufassir seperti Ibnu Katsir dan  al-Qurthubi juga menafsirkan ungkapan "apa yang diberikan Rasul kepadamu  maka terimalah dia" dengan makna "apa yang diperintahkan Rasul …"  berhubung setelahnya ada perintah untuk meninggalkan apa yang dilarang oleh  Rasul, di samping itu juga karena adanya riwayat-riwayat hadis yang mendukung  makna tersebut. 
Yang harus diperhatikan adalah bahwa ayat tersebut  bersifat umum, artinya berbicara mengenai perintah dan larangan yang sangat  global, sehingga untuk mengetahui apa saja yang diperintah atau yang dilarang  secara pasti membutuhkan perincian melalui dalil-dalil lain yang bersifat  khusus.   
Dalil lain yang mereka ajukan adalah: 
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah Ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda,  "Tinggalkan/biarkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian,  sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab pertanyaan dan  perselisihan mereka terhadap para Nabi mereka. Maka bila aku melarang  kalian dari sesuatu hindarilah, dan bila aku perintahkan kalian dengan suatu  perintah maka datangilah/laksanakanlah semampu kalian" (HR.  Bukhari).    
Dalil hadis ini pun bersifat umum, dan masih memerlukan  dalil-dalil lain yang lebih khusus untuk mengetahui perincian apa saja yang  dilarang atau yang diperintahkan secara pasti. 
Kaum Salafi & Wahabi seringkali membawa konotasi perintah  & larangan pada ayat dan hadis di atas ke dalam konteks perintah  mengikuti sunnah & larangan melakukan bid'ah. Pengarahan konteks  tersebut sebenarnya tidak tepat dan terkesan dipaksakan, karena selain bahwa  pengertian tentang sunnah Rasulullah Saw. yang wajib diikuti masih sangat umum  dan butuh perincian dari dalil-dalil lain yang lebih khusus, begitu pula  --terutama mengenai larangan— di dalam agama ada hal lain yang juga dilarang  selain bid'ah seperti: Berbuat zalim, melakukan maksiat, atau  mengkonsumsi makanan & minuman yang diharamkan. 
Kategori Ketiga
Di antara dua kategori tersebut (yaitu kategori amalan yang  diperintah & kategori yang dilarang), sebenarnya ada satu kategori yang  luput dari perhatian kaum Salafi & Wahabi, yaitu "yang tidak  diperintah juga tidak dilarang" sebagaimana diisyaratkan di dalam hadis  di atas dengan ungkapan "Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang  aku tinggalkan bagi kalian". Imam Ibnu Hajar al-Asqollani  menjelaskan di dalam kitab Fathul-Bari, bahwa maksudnya adalah  "Biarkan/tinggalkanlah aku (jangan paksa aku untuk menjelaskan  –red) selama aku tinggalkan kalian tanpa menyebut perintah melakukan sesuatu  atau larangan melakukan sesuatu."
Al-Imam Ibnu Hajar menafsirkan demikian karena Imam Muslim  menyebutkan latar belakang hadis tersebut di mana ketika Rasulullah Saw.  menyampaikan perintah melaksanakan haji dengan sabdanya, "Wahai sekalian  manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berhaji maka  berhajilah", ada seorang yang bertanya, "apakah setiap tahun ya  Rasulullah?". Maka Rasulullah Saw. terdiam, sampai orang itu mengulanginya  tiga kali. Rasulullah Saw. kemudian bersabda, "Bila aku jawab ' ya' maka  jadi wajiblah hal itu, dan sungguh kalian tak akan mampu". Kemudian beliau  bersabda ,"Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan  untuk kalian".    
Penjelasan tersebut secara nyata mengisyaratkan tentang  adanya kategori ketiga, yaitu perkara yang tidak dijelaskan perintahnya juga  tidak disebutkan larangannya. Berarti ini wilayah yang tidak boleh  ditarik kepada "yang diperintah" atau kepada "yang dilarang" tanpa dalil yang  jelas penunjukkannya. Gambarannya, tidak boleh kita mengatakan bahwa suatu  perkara itu wajib dikerjakan tanpa dalil yang mewajibkannya, sebagaimana tidak  dibenarkan kita mengatakan bahwa suatu perkara itu haram atau dilarang sampai  ada dalil yang jelas-jelas mengharamkan atau melarangnya. 
Tetapi sayangnya, kategori ini mereka masukkan  dengan paksa ke dalam kategori kedua, yaitu "yang dilarang".  Menurut kaum Salafi & Wahabi, melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan  adalah dilarang karena menyalahi perintah, dengan dalil: 
"… maka hendaklah orang-orang yang menyalahi  perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang  pedih. " (QS. An-Nuur: 63) 
Lagi-lagi mereka lupa, bahwa kalimat "menyalahi" atau  menyelisihi perintah Rasul pada ayat di atas itu pun bersifat umum,  tidak dirincikan di dalamnya bahwa maksudnya adalah "melakukan apa yang tidak  diperintahkan". 
Bila melakukan "yang tidak diperintahkan" adalah terlarang  semata-mata karena tidak ada perintahnya dari Rasulullah Saw., maka kita  –termasuk juga mereka yang berpaham Salafi & Wahabi—sudah melakukan  pelanggaran yang sangat banyak dan terancam dengan azab yang pedih seperti  disebut ayat tadi, karena telah membangun asrama, yayasan, mencetak mushaf,  membuat karpet masjid, menerbitkan buku-buku agama, mendirikan stasiun Radio,  dan lain sebagainya yang nota bene tidak pernah diperintahkan secara khusus oleh  Rasulullah Saw.     
Kemudian mereka juga berdalil dengan hadis Rasulullah Saw.:مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري)"Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya maka amalan itu tertolak" (HR. Bukhari).
Terjemah hadis ini kami tulis menurut versi pemahaman kaum  Salafi & Wahabi, dan pemaknaan seperti itu sungguh keliru. Mengapa? Karena  kami tidak mendapati seorang pun ulama hadis yang memaknai "laysa 'alaihi  amrunaa" dengan arti "yang tidak ada perintah kami atasnya". Kata  "amr" memiliki banyak arti, dan ia diambil dari kata "amara -  ya'muru" yang berarti "memerintahkan". Tetapi bila ia mendapat iringan atau  imbuhan berupa huruf "'alaa" (atas), maka artinya adalah "menguasai".  Jadi, bila kalimat "amara 'alaa" berarti "menguasai", maka kalimat  "amarnaa 'alaihi" berarti "kami menguasainya", maka kalimat  "amrunaa 'alaihi" atau "'alaihi amrunaa" amat janggal bila  diartikan "perintah kami atasnya". Karena untuk arti "perintah", kata  "amara" lebih tepat diiringi huruf  "bi" (dengan), seperti  firman Allah ta'ala: "Innallaaha ya'muru bil-'adli" (sesungguhnya Allah  memerintahkan untuk berbuat adil). 
Untuk sekedar diketahui, amalan yang mereka anggap tertolak dan  terlarang karena tidak ada perintahnya atau menyalahi perintah Rasulullah Saw.  adalah segala hal berbau agama yang mereka vonis sebagai bid'ah,  seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., acara tahlilan, bersalaman  setelah shalat berjama'ah, do'a berjama'ah, zikir berjama'ah, membaca al-Qur'an  di pekuburan, dan lain sebagainya. Padahal, untuk amalan-amalan tersebut, meski  tidak didapati perintah langsungnya, namun juga tidak didapati larangannya atau  ketertolakannya. 
Kata amr pada  "amrunaa" di dalam hadis  tersebut menurut para ulama maksudnya adalah "urusan (agama) kami". Jadi  terjemah hadis itu bunyinya adalah sebagai berikut, "Barangsiapa  yang melakukan amalan yang bukan atasnya urusan agama kami (tidak sesuai dengan  ajaran agama kami), maka amalan itu tertolak". Seandainya pun kata  "amrunaa" diartikan sebagai "perintah kami" dengan susunan kalimat  seperti yang kami kemukakan tadi, maka pengertiannya juga sama, yaitu "amalan  yang tidak sesuai dengan perintah kami", bukan " yang tidak  ada perintah kami atasnya ". Makna ini tergambar di dalam hadis lain yang  berbunyi: 
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)"Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami yang bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak" (HR. Muslim)
"Tidak sesuai perintah" mengandung pengertian  adanya perintah, hanya saja pelaksanaannya tidak seperti yang diperintahkan,  contohnya melakukan shalat tanpa wudhu dalam keadaan tidak ada uzur padahal  shalat itu harus dengan wudhu sebagaimana diperintahkan.  Ketidaksesuaian pelaksanaan suatu amal dengan perintah yang  diberikan sebagaimana yang dimaksud hadis itu pun tidak dapat dipastikan  sedikit-banyaknya, entah dari segi prinsipnya saja maupun dari segi bentuk atau  formatnya secara keseluruhan.  Sedangkan "tidak tidak ada perintah kami  atasnya " mengandung pengertian tidak ada perintah sama sekali,  dan pemahaman seperti inilah yang membuat mereka berpandangan bahwa "melakukan  apa yang tidak diperintahkan agama adalah sia-sia dan tidak mendapat pahala".  Yang seharusnya mereka teliti lagi, benarkah amalan-amalan yang mereka tuduh  bid'ah itu tidak pernah diperintahkan, baik secara implisit atau  eksplisit?
Terlepas dari itu semua, lagi-lagi lafaz hadis tersebut  mengenai "amalan yang tidak sesuai dengan ajaran agama kami" juga  bersifat umum, tidak menjelaskan rinciannya secara pasti. Maka tidak sah  mengarahkannya kepada amalan-amalan tertentu seperti Maulid, ziarah, atau  tahlilan, tanpa dalil yang menyebutkannya secara khusus. 
Kita tidak mungkin mengingkari adanya kategori ketiga  (yaitu kategori perkara "yang tidak diperintah tapi juga tidak  dilarang) , sedangkan isyarat hadis Rasulullah Saw.  "Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk  kalian" sangat jelas menunjukkannya. Bahkan yang seperti itu disebut  sebagai "rahmat" dari Allah sebagaimana sabda Rasulullah Saw.: 
إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا (حديث حسن رواه الدارقطني وغيره)"Sesungguhnya Allah ta'ala telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kalian lalaikan, dan Ia telah menetapkan batasan-batasan maka jangan kalian lampaui, dan Ia telah mengharamkan beberapa hal maka jangan kalian langgar, dan Ia telah mendiamkan beberapa hal (tanpa ketentuan hukum –red) sebagai rahmat bagi kalian bukan karena lupa maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya" (Hadis hasan diriwayatkan oleh ad-Daaruquthni dan yang lainnya).
Hadis ini disebutkan oleh an-Nawawi di dalam kitab  al-Arba'in an-Nawawiyyah pada urutan hadis yang ke-30. Ungkapan  "Ia telah mendiamkan beberapa hal" tentunya sangat  berhubungan dengan kalimat-kalimat sebelumnya tentang "mewajibkan",  "menetapkan batasan", dan "mengharamkan". Maksudnya, saat Rasulullah Saw.  menyebutkan di akhir kalimatnya bahwa Allah ta'ala ”mendiamkan  beberapa hal" maka itu artinya "Allah tidak memasukkan  beberapa hal tersebut entah ke dalam kelompok  yang Ia wajibkan, atau entah ke  dalam kelompok yang Ia berikan batasan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia  haramkan". Paling tidak, itu artinya Allah  tidak mengharamkannya atau melarangnya, lebih jelasnya lagi,  tidak menentukan hukumnya.
Bagaimana mungkin kaum Salafi & Wahabi dapat  menyatakan bahwa melakukan perkara yang tidak ada perintahnya adalah tertolak  dan dilarang, sedangkan Allah Swt. melalui lisan Rasulullah Saw. malah  menyebutnya sebagai "rahmat" ??!           
Imam Nawawi menjelaskan, bahwa larangan pada ungkapan "maka  jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya" adalah larangan yang khusus  pada masa Rasulullah Saw di saat ajaran Islam masih dalam proses pensyari'atan,  karena dikhawatirkan akan mempersulit diri dalam mengamalkan agama, seperti  kisah Bani Israil yang disuruh menyembelih seekor sapi betina. Ketika Rasulullah  Saw. sudah wafat, dan seluruh ajaran Islam sudah beliau sampaikan semuanya  sehingga tidak akan ada tambahan lagi, maka larangan itu pun tidak berlaku lagi.  Artinya, mengkaji apakah suatu perkara yang tidak ditetapkan hukumnya oleh Allah  & Rasul-Nya (terutama perkara yang tidak pernah ada di masa hidup beliau  seiring perubahan zaman) adalah merupakan suatu kebutuhan bahkan keharusan,  mengingat tidak seluruh perkara baru itu bisa dibilang "rahmat" sebagaimana  tidak pula seluruhnya itu bisa dibilang sebaliknya. Sehingga dengan begitu  dapatlah diketahui hukum "boleh" atau "tidak"nya suatu perkara berdasarkan  prinsip-prinsip dasar agama yang sudah disampaikan oleh Rasulullah Saw.  tersebut. 
Di sinilah peranan ulama dibutuhkan, dan telah nyata bahwa  mereka benar-benar mengabdikan diri dengan ikhlas demi kemaslahatan umat Islam  sepanjang hidup mereka. Merekalah para pewaris Rasulullah Saw., yang dengan  kesungguhan dan dedikasi yang tinggi alhamdulillah mereka telah  berhasil meletakkan rumusan dasar dan metodologi yang dapat dipergunakan oleh  umat Islam sepanjang zaman untuk dapat membedakan dengan jelas, mana perkara  baru (entah yang berbau agama atau tidak) yang dibolehkan dan mana perkara baru  yang dilarang. Dan hasilnya, apa yang aslinya "rahmat" akan tetap dianggap  "rahmat" sampai kapanpun, bagaimanapun macam dan bentuknya. Dari sini pulalah  terlihat jelas perbedaan antara "perkara baru di dalam ajaran agama"  dan "perkara baru yang berbau agama".   
Ketika kaum Salafi & Wahabi tidak dapat memahami kondisi  ini, maka akibatnya adalah mereka menganggap sama "perkara baru di dalam  ajaran agama" dengan "perkara baru yang berbau agama",  dan untuk keseluruhannya mereka menyatakan bid'ah sesat dan terlarang.  Itulah mengapa mereka tidak dapat melihat "rahmat" yang ada  pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. ketika umat yang awam berkumpul  bersama para ulama dan shalihin di suatu tempat untuk mengingat Allah Swt.,  mengenang dan memuliakan Rasulullah Saw., bersholawat kepada beliau, serta  memupuk kecintaan kepada beliau, sebagaimana "rahmat" yang ada  pada saat berkumpulnya para Shahabat bersama Rasulullah Saw. dengan penuh cinta  dan pemuliaan terhadap beliau. 
Kaum Salafi & Wahabi seperti buta terhadap "rahmat" yang  Allah berikan kepada umat Islam pada perkara-perkara yang tidak Ia sebutkan  hukumnya. Dan yang lebih parah, mereka juga seperti buta terhadap begitu  banyak dalil dan isyarat-isyaratnya yang menyebut tentang adanya perkara  tawassul kepada orang shaleh baik hidup maupun sudah meninggal, tentang ziarah  kubur, tentang membacakan al-Qur'an kepada orang yang meninggal dunia, tentang  tabarruk, tentang berzikir atau berdo'a berjama'ah, tentang do'a qunut  pada shalat shubuh, dan lain sebagainya, sehingga mereka berani berkata "tidak  ada dalilnya" atau "tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw. atau para  shahabatnya".    
Kaum Salafi & Wahabi, mengenai amalan yang tidak  diperintahkan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat  beliau, juga berdalil dengan perkataan shahabat Hudzaifah ibnul-Yaman Ra.  sebagai berikut: 
كُلُّ عِبَادَةٍ لمَ ْيَفْعَلُوْهَا أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ فَلاَ تَفْعَلُوْهَا"Setiap ibadah yang tidak dilakukan para Shahabat Rasulullah Saw. maka janganlah kalian lakukan" (Prof. TM Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan riwayat ini di dalam karyanya "Kriteria Antara Sunnah dan Bid'ah", dan ia menyebutkannya sebagai riwayat Abu Dawud. Tetapi kami belum mendapatinya di dalam riwayat Abu Dawud atau yang lainnya. Riwayat ini juga disebut di dalam buku Ensiklopedia Bid'ah karya Hammud bin Abdullah al-Mathar).
Meskipun seandainya riwayat itu benar adanya, maka yang harus  diperhatikan adalah bahwa pernyataan itupun bersifat umum,  yaitu menyangkut urusan ibadah yang tidak bisa dipahami secara rinci kecuali  setelah kita memahami pengertian "ibadah" tersebut melalui penjelasan yang  tersurat atau tersirat dalam riwayat-riwayat yang lain. Mereka juga berdalih  dengan suatu qaidah ushul yang mengatakan:
اْلأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ التَّوْقِيْفُ"Asalnya ibadah adalah ketetapan (dari Rasulullah Saw.)"atau dalam kaidah lain, "Asal hukum ibadah adalah haram, kecuali bila adadalil yang menyuruhnya."
Kaidah itu pun bersifat umum, dan harus dijelaskan pengertian  dan macam ibadah yang yang dimaksud (meskipun sebenarnya para ulama  yang membuat kaidah tersebut sudah membahasnya dengan gamblang, namun bagi kaum  Salafi & Wahabi, kaidah itu dipahami berbeda). Bagaimana mungkin kita  samakan ibadah yang punya ketentuan dalam hal Cara, jumlah, waktu, atau  tempat seperti: Sholat, puasa, zakat, dan haji (yang dikategorikan sebagai  ibadah mahdhoh/murni), dengan ibadah yang tidak terikat oleh  hal-hal tersebut seperti: Do'a, zikir, shalawat, sedekah, husnuzh-zhann  (sangka baik) kepada Allah, atau istighfar (yang dikategorikan sebagai  ibadah ghairu mahdhoh) yang boleh dilakukan kapan saja, di mana saja  dan berapa saja, bahkan dalam keadaan junub sekalipun. Jangankan itu, menyamakan  ibadah yang hukumnya wajib dengan ibadah yang hukumnya sunnah.saja tidak  mungkin. 
Bila semuanya dianggap sama, yaitu harus seperti yang dilakukan  oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat sebagaimana disebutkan di dalam riwayat  hadis tanpa membedakan hukum wajib dan sunnah, mahdhoh dan ghairu  mahdhoh, maka yang terjadi adalah: Berzikir harus dalam keadaan tertentu  dan dengan zikir tertentu yang disebutkan hadis saja; berdo'a harus dengan  kalimat yang ada di dalam hadis dan tidak boleh menambah permintaan yang lain;  dan khutbah jum'at harus dengan bahasa Arab dengan isi khutbah seperti yang ada  di dalam hadis; dan shalat harus sama dengan yang disebutkan di dalam hadis  dalam hal panjang bacaannya, lama pelaksanaannya, dan banyak rakaatnya. Sungguh,  dengan begitu agama ini akan menjadi sangat berat dan susah bagi umat Islam yang  belakangan seperti kita. Bahkan kita perlu bertanya, apakah mungkin Islam dengan  pemahaman kaku seperti itu bisa diterima manusia sementara keadaan zaman makin  ke belakang makin buruk, apalagi keadaan manusianya? 
Adalah sangat mungkin, seandainya Wali Songo dan para pembawa  Islam di Indonesia pada masa dahulu berdakwah dengan pemahaman Islam seperti  kaum Salafi & Wahabi, maka dakwah mereka pasti akan ditolak dan sulit  berkembang, sebab segala sarana yang mereka gunakan untuk berdakwah saat itu  seperti: Gending, gamelan, tembang, wayang, dan syair-syair jawa, bagi Kaum  Salafi & Wahabi adalah bid'ah. Bukan tidak mungkin bila seluruh  ulama menganut paham Salafi & Wahabi, maka Islam akan ditinggalkan orang  bahkan ditinggalkan oleh umat Islam sendiri (dalam arti tidak ditaati ajarannya)  alias tidak laku! Bagaimana tidak, saat dunia dan perhiasannya sudah dikemas  sedemikian rupa sehingga menjadi semakin menarik, maka dakwah yang tidak kreatif  akibat terbatasi oleh larangan bid'ah yang tidak jelas akan menjadi  sangat membosankan. 
Itulah mengapa para ulama yang kreatif mencoba mengemasnya  dalam bentuk acara-acara adat yang disesuaikan dengan Islam, seperti: Peringatan  Maulid Nabi Muhammad Saw. dan Isra' & Mi'raj, tahlilan, zikir berjama'ah,  rombongan ziarah, haul, pembacaan qashidah atau sya'ir Islami, dan lain  sebagainya. Itu semua mereka lakukan karena mereka memahami betul keadaan umat  manusia di masa belakangan yang kualitas keimanan dan ketaatannya tidak mungkin  bisa disamakan dengan para Shahabat Rasulullah Saw. atau para tabi'in. 
Hasilnya, syi'ar Islam jadi semarak, dan umat Islam terpelihara  keimanannya dengan banyaknya kegiatan keislaman di setiap waktu dan tempat di  mana mereka dapat sering bertemu dengan para ulama dan orang-orang shaleh yang  lama-kelamaan menjadi figur dan idola di hati mereka.             
3. Dalil sesatnya setiap  bid'ah
Menyangkut bid'ah yang sering dituduhkan oleh kaum  Salafi & Wahabi terhadap amalan kaum muslimin di berbagai belahan dunia, ada  hadis Rasulullah Saw. yang sering mereka kemukakan, yaitu: 
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ  الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ  ضَلاَلَةٌ (رواه مسلم) 
"Adapun sesudahnya: Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan  ialah Kitab Allah (al-Qur'an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad  Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang  diada-adakan), dan setiap bid'ah itu kesesatan" (HR. Muslim). 
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ (رواه النسائي)"Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitab Allah (al-Qur'an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap yang baru diada-adakan adalah bid'ah, setiap bid'ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di dalam neraka" (HR. Nasa'i)
Pada hadis di atas, ada dua hal yang disebut sebagai perkara  yang paling buruk, yaitu: 1. Muhdatsat 2. Bid'ah. 
Muhdatsah secara bahasa adalah perkara baru yang  diada-adakan. Sedangkan bid'ah adalah perkara baru yang diadakan dan  belum pernah ada sebelumnya. Ulama mendefinisikan bid'ah dengan  ungkapan: 
كُلُّ شَيْءٍ عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ"Apa yang dilakukan tanpa contoh sebelumnya"
Dari pengertian tersebut, berarti seluruh perkara baru yang  tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. dianggap sesat dan terlarang, entah  perkara yang berbau agama maupun yang tidak. Sampai di sini, sepertinya tidak  ada sedikitpun pengecualian, karena keumuman lafaz muhdatsat atau  bid'ah secara bahasa mencakup segala hal yang baru, termasuk urusan  duniawi seperti: Resleting, sendok, mobil, motor, dan lain-lain. Maka  pengertiannya kemudian dikhususkan hanya pada perkara baru dalam urusan agama  saja, dengan dasar hadis Rasulullah Saw.: 
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)"Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak" (HR. Muslim)
Kaum Salafi & Wahabi menganggap hadis tentang muhdatsah  dan bid'ah di atas sebagai dalil yang mencakup semua hal "berbau  agama" atau "berbau ibadah" yang tidak pernah ada formatnya di masa Rasulullah  Saw. dan para Shahabat beliau. Seolah-olah hadis itu adalah hadis terakhir yang  diucapkan oleh Rasulullah Saw. setelah seluruh ajaran Islam beliau sampaikan dan  contohkan sebagai rentetan aturan yang baku. Akibatnya, tidak ada toleransi  sedikitpun bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan beragama melainkan harus  persis sama dengan Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, baik sama secara  format maupun prinsipnya. Artinya, bagi mereka tidak boleh berbeda dari apa yang  disebutkan secara harfiyah di dalam hadis atau sunnah; berbeda berarti perkara  baru, dan itu berarti bid'ah. Analoginya, selama ini dipahami bahwa kue  donat itu bolong tengahnya, kalau tidak bolong bukan kue donat namanya. Berarti,  saat Dunkin' Donut membuat donat yang tidak bolong tengahnya, bahkan  diberi isi dengan berbagai rasa, maka ia telah melakukan bid'ah.
Yang demikian karena mereka mendefinisikan  bid'ah dengan pengertian: ”Sesuatu yang diada-adakan di dalam  masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya,  baik berupa akidah ataupun amal" (lihat Ensiklopedia  Bid'ah, hal. 71). Padahal, definisi ini pun sebentuk bid'ah,  karena tidak pernah disebutkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau.  
Agaknya pemahaman seperti itulah yang membuat mereka jadi  paranoid terhadap amalan berbau agama. Dalam benak mereka seolah-olah ada  pengertian bahwa ketika menyebutkan "setiap bid'ah adalah kesesatan",  Rasulullah Saw. telah mengetahui segala sesuatu berbau agama yang akan  diada-adakan orang setelah beliau wafat nanti sampai hari kiamat dan beliau  tidak peduli meski ada maslahatnya sekalipun sehingga beliau memvonis seluruhnya  adalah kesesatan yang diancam masuk neraka. Sebab kebaikan hanya ada pada apa  yang beliau ajarkan atau contohkan sepanjang hidup beliau, dan seandainya apa  yang diada-adakan orang setelahnya itu baik, pastilah beliau sudah melakukannya.  Benarkah begitu? 
Mari kita teliti pemahaman kaum Salafi & Wahabi tersebut.  Ada beberapa hal yang perlu kita cermati, yaitu: 
1.       Hadis tentang muhdatsat dan  bid'ah tersebut bersifat umum , artinya tidak merincikan  amalan-amalan tertentu yang termasuk ke dalamnya. Karenanya tidak bisa  diberlakukan pada setiap perkara baru yang berbau agama yang diada-adakan orang  setelah Rasulullah Saw. wafat, karena banyak perkara baru "berbau agama" yang  tidak mungkin dianggap sesat seperti: Mengumpulkan al-Qur'an dalam satu mushaf  lalu mencetak dan memperbanyak mushaf, mendirikan baitul maal, menetapkan gaji  atau upah bagi khalifah, menulis kitab ilmu agama, mendirikan pesantren atau  yayasan, dan lain sebagainya. 
Bila Rasulullah Saw. tahu semua perkara baru itu sesat, maka  pertanyaannya, apa yang membuat beliau enggan menyebutkannya dan membiarkan umat  setelah beliau banyak yang terperosok ke dalamnya? Apakah mereka menganggap  Rasulullah Saw. sebagai orang kolot yang tidak mengerti perubahan dan  perkembangan zaman, sehingga beliau hanya berpegang teguh kepada apa yang  formatnya beliau contohkan di masa hidupnya lalu menyatakan, "inilah agama. Apa  saja dan bagaimana saja orang melakukan sesuatu berbau agama dalam bentuk apapun  yang tidak sama dengan yang aku & Shahabatku lakukan maka ia tertolak".  Bagaimana mungkin Rasulullah Saw. yang sangat cerdas itu jadi terkesan bodoh  karena seolah-olah menganggap kehidupan manusia di setiap zaman sama saja,  sehingga sepertinya beliau tega mengukur tingkat keimanan dan ketaatan  orang-orang di masa belakangan dengan diri beliau dan para Shahabat? Bukankah  beliau sangat menyadari perbedaan itu semua seperti yang disebut dalam sabdanya:  
... لاَ يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ ...(رواه البخاري )"Tidaklah datang suatu zaman kepada kalian melainkan yang setelahnya lebih buruk (dari sebelumnya), sampai kalian menjumpai Tuhan kalian …" (HR. Bukhari)
2.       Hadis tentang muhdatsat dan  bid'ah tersebutbukanlah hadis Rasulullah yang terakhir  setelah seluruh ajaran Islam beliau sampaikan, melainkan hanya salah  satu dari hadis atau khutbah Rasulullah Saw. di hadapan para shahabat beliau.  Tidak bisa dipastikan kapan diucapkannya, berarti masih mungkin setelah itu ada  hadis-hadis lain yang dapat memberikan isyarat atau pemahaman tentang maksud  "sesatnya" muhdatsat dan bid'ah yang sesungguhnya. 
Contohnya seperti riwayat tentang seorang shahabat yang membaca  do'a I'tidal dengan bacaan yang dibuatnya sendiri; atau riwayat tentang  Bilal bin Rabah yang melakukan shalat sunnah setelah wudhu atau setelah adzan;  atau riwayat tentang cara membaca al-Qur'an di dalam shalat yang berbeda-beda  (Abu Bakar dengan suara lirih, Umar dengan suara keras, dan 'Ammar dengan  mencampur ayat pada satu surat dengan ayat di surat lain); atau tentang cara  shalat masbuq yang dilakukan oleh Mu'adz bin Jabal; yang masing-masing  shahabat itu melakukannya dengan inisiatif/ijtihad sendiri tetapi  Rasulullah Saw. malah membenarkannya, menganggapnya baik, bahkan menyebutkan  keutamaannya. Yang lebih gamblang lagi adalah riwayat tentang saran Umar bin  Khattab Ra. kepada Khalifah Abu Bakar Shiddiq Ra. untuk menghimpun al-Qur'an  dalam satu mushaf, juga riwayat tentang pelaksanaan bid'ah shalat  tarawih di masa Umar bin Khattab Ra., dan riwayat-riwayat lain yang kesemuanya  mengisyaratkan adanya pengecualian terhadap perkara-perkara baru berbau agama.  
Kaum Salafi & Wahabi seperti menganggap setelah hadis  tentang muhdatsat dan bid'ah tersebut, tidak ada lagi  hadis-hadis yang Rasulullah Saw. ucapkan yang dapat memberi pemahaman tentang  maksud sebenarnya dari bid'ah yang sesat, sehingga mereka memukul rata  seluruh bid'ah sebagai kesesatan tanpa kecuali. 
 Mereka menolak pendapat para ulama yang membagi  bid'ah menjadi dua, bid'ah dhalalah/sayyi'ah (bid'ah  yang sesat/buruk) dan bid'ah hasanah/mahmudah (bid'ah yang  baik/terpuji), dan menolak pendapat para ulama yang mengkategorikan bid'ah  secara hukum menjadi lima (wajibah, mandubah, makruhah, mubahah,  muharramah). 
Tetapi anehnya, mereka sendiri lalu membagi  bid'ah menjadi dua, yaitu: bid'ah diniyyah/syar'iyyah (bid'ah  agama/syari'at) dan bid'ah duniawiyah (bid'ah duniawi). Mereka juga  bahkan membagi bid'ah diniyyah menjadi bermacam-macam pembagian. Ada  yang membaginya menjadi dua: yaitu bid'ah I'tiqadiyah (bid'ah aqidah)  dan bid'ah 'amaliyah (bid'ah amalan), ada juga yang membaginya lagi  menjadi dua, yaitu: Bid'ah mukaffirah (bid'ah yang menyebabkan kafir)  dan bid'ah ghairu mukaffirah (bid'ah yang tidak menyebabkan kafir).  Bahkan ada yang membaginya menjadi empat, yaitu: Bid'ah mukaffirah, bid'ah  muharramah, bid'ah makruhah tahrim, dan bid'ah makruhah tanzih  (lihat Ensiklopedia Bid'ah, Hammud Abdullah al-Mathar, Darul Haq,  hal. 42-46 dan Bid'ah-bid'ah yang Dianggap Sunnah, Syaikh Muhammad  Abdussalam, Qisthi Press, hal. 4). 
3.       Perkara baru yang ada setelah Rasulullah Saw.  wafat tidak pernah dirincikan penyebutannya oleh beliau, termasuk yang dianggap  kebaikan sekalipun.   Ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. memang  tidak diarahkan oleh Allah untuk merincikannya, karena prinsip dasar untuk  menilai baik dan buruknya segala sesuatu sudah disampaikan secara jelas. Tentang  kebaikan misalnya, beliau sudah mengajarkan prinsip-prinsip dasar kebaikan itu  yang bisa berlaku sampai hari kiamat, bukan sebatas formatnya saja (kecuali  format ibadah mahdhoh). Sebab format kebaikan itu dapat berkembang  berdasarkan kebutuhan dan perkembangan hidup manusia pada masing-masing tempat  dan zaman. Buktinya, Rasulullah Saw. tidak mendirikan pesantren, rumah sakit,  atau yayasan penampungan anak yatim, padahal itu baik. 
Syaikh al-Ghamary di dalam kitab Itqan ash-Shun'ah fii  tahqiq ma'na al-Bid'ah hal. 5, menyebutkan bahwa Imam Syafi'I berkata: 
كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف، لأن تركهم للعمل به قد يكون لعذر قام لهم في الوقت أو لما هو أفضل منه أو لعله لم يبلغ جميعهم علم به"Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil syara' maka bukan termasuk bid'ah, meskipun belum pernah dilakukan oleh salaf. Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi saat itu (belum dibutuhkan –red) atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, dan atau hal itu barangkali belum diketahui oleh mereka (belum dikenal formatnya-red) " (lihat buku Membongkar Kebohongan Buku "Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik" (H. Mahrus Ali), Tim Bahtsul Masail PCNU Jember, hal. 71).
4.       Definisi bid'ah yang dikemukakan oleh  kaum Salafi & Wahabi adalah bid'ah. Sebab, Rasulullah Saw. atau  para Shahabat beliau tidak pernah memberikan definisi tentang bid'ah  seperti yang mereka buat, yaitu: "”Sesuatu yang diada-adakan di dalam  masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya,  baik berupa akidah ataupun amal". Dalam pengertian lain definisi itu  berbunyi, "Perkara baru di dalam agama yang tidak pernah dilakukan oleh  Rasulullah dan para Shahabat beliau." Mereka juga mengklasifikasi  bid'ah itu menjadi beberapa bagian dengan pembagian yang tidak pernah  dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (lihat poin no. 2 di  atas). Jadi, mereka menolak bid'ah, tapi mereka sendiri melakukan bid'ah. Aneh,  kan?! 
Sebagian kalangan dari kaum Salafi & Wahabi ada yang tidak  mau menerima pendapat tentang pengklasifikasian bid'ah (syar'iyyah  & duniawiyyah) yang disebut oleh sebagian ulama mereka, mungkin entah  karena ingin konsisten berpegang pada hadis "Setiap bid'ah adalah  kesesatan", atau entah karena tidak ingin dikatakan plin-plan  karena di satu sisi menolak pembagian bid'ah kepada hasanah &  sayyi'ah tetapi disisi lain malah membaginya menjadi syar'iyyah &  duniawiyyah. Kemudian ketika diajukan kepada mereka contoh-contoh kasus  yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. yang secara bahasa tentu juga  dianggap bid'ah, seperti: Membangun madrasah, pesantren, penulisan  mushaf al-Qur'an, dan lain-lain, serta merta mereka mengatakan bahwa  perkara-perkara tersebut bukanlah dianggap bid'ah, melainkan termasuk  dalam mashlahat mursalah (kemaslahatan umum). 
Mereka juga berdalih bahwa apa saja yang dapat menjadi sarana  untuk melaksanakan perintah hukumnya juga diperintah, bukanlah bid'ah,  meskipun sarana itu tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw., karena  "sarana dihukumi menurut tujuannya" (lilwasaa'il hukmu  al-maqashid), sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan  zamannya. Jadi, membangun sekolah, menyusun kitab atau karya ilmu  pengetahuan, dan lain sebagainya termasuk diperintahkan dalam rangka mewujudkan  pelaksanaan menuntut ilmu atau mengajarkan ilmu syari'at  yang diperintahkan di  dalam agama (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 29-30). 
Kalau begitu, kenapa mereka tidak bisa melihat bahwa acara  Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. atau kegiatan tahlilan dan  istighatsah yang tidak ada formatnya di zaman Rasulullah Saw. itu  sebagai maslahat umum (maslahat mursalah) sekaligus sarana untuk  melaksanakan perintah di dalam agama seperti: Silaturrahmi, berzikir, membaca  al-Qur'an, bershalawat kepada Rasulullah Saw., mendengarkan nasihat, berdo'a,  berbagi rezeki atau sedekah, dan berkumpul dengan orang-orang alim dan shaleh.  Bukankah semua amalan itu jelas-jelas diperintahkan? Bukankah sarana untuk  mewujudkan pelaksanaan perintah itu juga diperintahkan? Bukankah sarana yang  diperintahkan itu boleh berbeda-beda menurut tempat dan zaman? Bukankah kegiatan  keagamaan seperti itu mengandung maslahat dalam menjaga kualitas  keimanan dan ketaatan, lebih-lebih bagi umat yang hidupnya jauh dari masa  Rasulullah Saw.?         
5.       Bila segala sesuatu mengenai agama harus  dirujuk langsung hanya kepada al-Qur'an dan hadis Rasulullah Saw. serta riwayat  dari para Shahabat beliau saja, untuk apa beliau menyebutkan akan diutusnya  mujaddid (pembaharu) yang mengajarkan umat tentang agama pada setiap  qurun seratus tahun? Lihatlah sabda Rasulullah Saw. berikut ini: 
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو داود والحاكم والبيهقي والطبراني)"Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini setiap akhir masa seratus tahun, orang yang akan memperbaharui agama mereka" (HR. Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani).Disebutkan di dalam 'Aunul-Ma'bud, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi yang berbeda, yaitu:إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ"Sesungguhnya Allah ta'ala menetapkan pada akhir setiap masa seratus tahun, orang yang mengajarkan manusia tentang agama mereka."
Hadis ini menandakan adanya legitimasi dan legalitas bagi umat  untuk mendapatkan penjelasan tentang agama dari para ulama pewaris Rasulullah  Saw. Artinya, memahami al-Qur'an dan hadis/sunnah secara langsung tanpa melalui  penjelasan mereka adalah tindakan yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga  merupakan sebuah keteledoran yang dapat berakibat terjerumus kepada kesesatan.  Itulah kenapa Rasulullah Saw. bersabda demikian, karena beliau menyadari betul  keadaan umatnya di masa belakangan yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup  beliau. Dan lagi, hadis itu pasti dilatarbelakangi oleh adanya wahyu dari Allah  tentang salah satu rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan. 
Dari sekian nama ulama pembaharu (mujaddid) dari  setiap masa seratus tahun pertama sampai masa seratus tahun kedelapan  (sebagaimana disebut oleh as-Suyuthi di dalam Tuhfatul-Muhtadiin fii  Akhbaaril-Mujaddidiin), dan sampai masa seratus tahun ke-13 (sebagaimana  disebutkan oleh Abu ath-Thoyyib di dalam 'Aunul-Ma'buud), tidak  terdapat nama Ibnu taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahab (perintis paham Salafi  & Wahabi). Bagaimana mungkin mereka dianggap mujaddid (pembaharu)  sedangkan paham mereka banyak yang bertentangan dengan ijma'  mayoritas  ulama. 
Kemungkinan ada orang belakangan yang menyebut Ibnu Taimiyah  sebagai pembaharu, tetapi pengakuan itu tidak bisa dibenarkan. Sebab paham yang  di bawa Ibnu Taimiyah adalah paham baru yang tidak pernah dianut oleh para ulama  sebelumnya bahkan para ulama mujaddid sekalipun. Bagaimana  mungkin penobatan Ibnu Taimiyah sebagai mujaddid bisa dibenarkan,  sementara ia hanya mengambil rujukan agama hanya kepada para ulama  salaf (mereka yang hidup antara rentang masa Rasulullah Saw. sampai  masa tabi'in sekitar 300 H.). Berarti, status mujaddidnya Ibnu Taimiyah  (yang muncul di abad ke-8) terputus dan tidak sah, karena seperti ada kekosongan  mujaddid dari sejak abad ke-4 sampai abad ke-7. Bagaimana itu bisa  dibenarkan sedangkan Rasulullah Saw. menyebut bahwa mujaddid itu akan  ada di setiap akhir masa satu abad. Bila Ibnu Taimiyah tidak pernah dianggap  mujaddid oleh para ulama karena tidak pantas, maka Muhammad bin Abdul  Wahab yang hidup di abad ke-12 lebih tidak pantas lagi. 
Menolak adanya pembagian bid'ah menjadi dua,  yaitu bid'ah dhalalah/madzmumah dan bid'ah hasanah/mahmudah,  maka secara tidak langsung, berarti menolak penjelasan hadis yang disampaikan  oleh mujaddid, sebab yang menyampaikannya pertama kali adalah Imam  Syafi'I yang diakui oleh para ulama sebagai mujaddid pada akhir masa  abad ke-2 (sebelumnya di abad ke-1 adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz) dan  disetujui penjelasannya itu oleh para ulama setelahnya.  
0 komentar:
Posting Komentar