Dari uraian di atas, kita sudah mengetahui bahwa perkara baru  di dalam agama yang disebut sebagai muhdatsat atau bid'ah di  dalam hadis-hadis yang dijadikan dasar oleh kaum Salafi & Wahabi itu  seluruhnya bersifat "umum" atau "global", sehingga tidak bisa digunakan untuk  menghukumi perkara-perkara "khusus" seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad  Saw., peringatan Isra' & Mi'raj, acara tahlilan, bersalaman setelah  shalat berjama'ah, do'a berjama'ah, zikir berjama'ah, membaca al-Qur'an di  pekuburan, dan lain sebagainya, kecuali bila ada hadis yang menyebutkan  keharamannya secara terperinci. 
Tentang dalil umum, Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat: 
احتج الجمهور بأن كل عام يحتمل التخصيص حتى إنه شاع بين العلماء ((ما من عام إلا وقد خص منه البعض)) . فالتخصيص شائع كثير في العام، بمعنى أنه لا يخلو عنه إلا قليلا، وذلك بقرينة . (أصول الفقه الإسلامي، وهبة الزحيلي، دار الفكر، دمشق، ج. 1، ص. 245).Jumhur berhujjah bahwa setiap yang umum memiliki kecenderungan takhsish (pengkhususan), sehingga telah tersebar (motto) di kalangan ulama: " Tidak ada (dalil) yang umum kecuali telah dikhususkan sebagian dari (keumuman)nya". Maka takhsish (pengkhususan) banyak tersebar pada yang umum. Artinya, bahwa tidak ada yang bebas (suatu dalil umum) daripadanya (takhsish) melainkan sedikit, itupun dengan qarinah (kata/kalimat penjelas makna yang mengiringi dalil yang umum). (Lihat Ushul al-Fiqh al-Islami, Dr. Wahbah az-Zuhaili, Dar el-Fikr, Damaskus, juz 1, hal 245).اتفق أهل العلم سلفا وخلفا على أن التخصيص للعمومات جائز ولم يخالف في ذلك أحد ممن يعتد به وهو معلوم من هذه الشريعة المطهرة لا يخفى على من له أدنى تمسك بها حتى قيل إنه لا عام إلا وهو مخصوص إلا قوله تعالى والله بكل شيء عليم (إرشاد الفحول، محمد بن علي الشوكاني، دار الفكر، بيروت، ص. 246).Telah sepakat ahli ilmu baik salaf maupun khalaf bahwa takhsish (pengkhususan) bagi keumuman-keumuman itu adalah boleh (ja'iz), dan tidak ada seorangpun dari orang-orang yang dianggap (keilmuannya) yang menentangnya, dan hal itu sudah diketahui termasuk dari syari'at yang suci ini, tidak tersembunyi (bahkan) bagi orang yang memiliki komitmen yang rendah terhadap syari'at tersebut, sehingga dikatakan, "Sesungguhnya tidak ada (dalil) yang umum melainkan dia sudah dikhususkan", kecuali firman Allah ta'ala, "Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (Lihat Irsyadul-Fuhuul, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Dar El-Fikr, Beirut, hal. 246).
Pendapat jumhur (mayoritas) ulama seperti di atas  merupakan hasil penelitian yang seksama terhadap seluruh dalil umum yang  terdapat di dalam al-Qur'an dan hadis. Kesimpulan jumhur ulama bahwa  "Tidak ada (dalil) yang umum kecuali telah dikhususkan sebagian dari  (keumumannya)" boleh dianggap sebagai kesimpulan final, di mana  agama telah sempurna dan wahyu atau hadis tidak turun lagi atau tidak  dikeluarkan lagi, maka tidak mungkin Allah atau Rasulullah Saw. meninggalkan  "PR" (pekerjaan rumah) bagi umat untuk mencari-cari maksud sesungguhnya dari  suatu ayat atau hadis yang bersifat umum, sehingga akan memunculkan perbedaan  pengertian yang bisa berakibat fatal. Jika seandainya masih ada tersisa dalil  umum yang belum ditakhsish (dikhususkan), maka pastilah akan  menimbulkan tanda tanya tentang maksud keumumannya yang mengandung  ketidakjelasan. 
Pada kasus dalil tentang muhdatsat dan bid'ah  misalnya, ketika disebutkan " setiap bid'ah (perkara baru) adalah  kesesatan", maka secara harfiyah atau lughawiyah (bahasa) akan  mencakup "semua perkara baru" yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. baik  yang berhubungan dengan agama, adat istiadat, maupun perkara kebutuhan hidup  duniawi, seperti: Pekerjaan, pakaian, kendaraan, makanan, minuman, peralatan,  bangunan, dan lain-lainnya. Tentu pengertian umum seperti ini akan menimbulkan  syubhat (ketidakjelasan), bahwa di satu sisi memang lafaz  "setiap  bid'ah adalah kesesatan" adalah lafaz umum, di sisi lain cakupan keumuman  lafaz itu kepada setiap hal yang baru akan mempersulit kehidupan manusia yang  tidak sama dengan kehidupan Rasulullah Saw., entah menyangkut masa hidupnya,  makanannya, kebiasaannya, iklimnya, wilayahnya, bahasanya, budayanya, ataupun  yang lainnya.   
Kaum Salafi & Wahabi sepertinya ngotot bahwa hadis  tentang bid'ah itu harus diberlakukan keumumannya seperti apa adanya dan tidak  boleh dikhususkan pada sebagian "perkara baru" saja, sehingga dengan begitu kata  bid'ah tidak boleh dimengertikan sebagiannya sebagai kesesatan dan  sebagian yang lain tidak. Itu artinya mereka bersikukuh menolak  takhsish (pengkhususan) pada hadis tersebut, karena jelas-jelas  lafaznya bersifat umum. Tapi kemudian setelah ternyata memang tidak mungkin  memberlakukan keumumannya pada "setiap perkara baru" sampai kepada urusan  kebutuhan hiduap duniawi seperti pakaian, kendaraan, atau lainnya, maka kemudian  mereka menyatakan bahwa maksudnya adalah "setiap perkara baru di dalam  agama" berdasarkan hadis lain yang mengisyaratkannya. Sampai di sini,  mereka masih tidak sadar bahwa pembatasan "setiap perkara baru" dengan  ungkapan "di dalam agama" yang mereka nyatakan berdasarkan dalil lain  itu adalah takhsish (pengkhususan) namanya. Jadi, mereka mengaku  menolak takhsish pada hadis tersebut, padahal mereka dengan  tidak sengaja dan terpaksa telah menggunakannya. 
Takhsish sebatas ini pun masih belum cukup jelas alias  masih mengandung syubhat (ketidakjelasan), karena urusan "di dalam  agama" itu sangat banyak kategorinya, mencakup: Perintah & larangan,  wajib & sunnah, pokok (ushul) & cabang (furu'), murni  (mahdhah) & tidak murni (ghairu mahdhah), halal &  haram, dan lain sebagainya. Maka, "setiap perkara baru (bid'ah)  di dalam  agama" pada kategori yang manakah yang dianggap sebagai  "kesesatan"? Apakah mencakup keseluruhan kategori tersebut atau hanya  sebagiannya?   
Tampaknya, Kaum Salafi & Wahabi sudah mencukupkan diri  dengan takhsish (pengkhususan) sebatas ini, di mana "setiap  (bid'ah) perkara baru" yang dianggap kesesatan dikhususkan menjadi  "perkara baru di dalam agama", dan itu mencakup keseluruhan kategori di  dalam urusan agama. Dari pengertian inilah akhirnya mereka terjebak pada  definisi yang tidak jelas, sehingga "perkara baru di dalam  agama" yang tanpa batasan kategori atau kriteria itu berubah menjadi  "perkara baru berbau agama dan berbau  ibadah". Akibatnya, mereka jadi paranoid terhadap segala macam  perkara baru; apa saja yang dikerjakan orang yang mengandung "unsur" berbau  agama, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang mereka anggap tidak pernah  dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabatnya, langsung dituduh sebagai  menambah-nambahi agama dengan "perkara baru atau ibadah baru". Padahal,  yang mengucapkan atau melakukannya tidak pernah bermaksud begitu.      
Pantas saja, bahkan urusan lumrah seperti mengucap  alhamdulillah ketika bersendawa dianggap tidak layak dilakukan hanya  karena –menurut mereka— tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. (lihat  Ensiklopedia Bid'ah halaman 365), padahal merasa mendapat nikmat karena  sendawa atau karena apa saja, dan banyak memuji Allah adalah merupakan sikap  yang bukan saja tidak dilarang, bahkan terpuji dan disukai di dalam agama. Dan  banyak lagi amalan-amalan yang lumrah dan dimaklumi kebaikannya bahkan oleh akal  seorang awam sekalipun yang dianggap bid'ah oleh kaum Salafi &  Wahabi hanya karena "berbau agama dan berbau ibadah", seperti: Berwudhu  sebelum menyembelih hewan,  bershalawat setelah adzan, peresmian masjid dengan  acara perayaan, naik ke Jabal Nur untuk melihat gua Hira, membaca do'a  dari buku panduan ibadah haji, membaca surat al-Fatihah setelah berdo'a, membaca  al-Qur'an dan do'a sebelum adzan Shubuh, membaca al-Fatihah saat akad nikah,  membaca shadaqallahul-'azhim (Maha Benar Allah yang Maha Agung) setelah  membaca al-Qur'an, membaca al-Asma' al-Husna setelah shalat, dan lain  sebagainya yang sesungguhnya tidak ada larangannya di dalam agama. 
Jika mereka mengharamkan hal-hal itu dan menuduhnya sebagai  bid'ah hanya karena alasan Rasulullah Saw. tidak melakukannya padahal  beliau juga tidak pernah melarangnya, maka seharusnya mereka menyadari bahwa  sikap mudah memvonis bid'ah terhadap amalan-amalan yang tidak jelas  dalil larangannya dan bahkan membenci pelakunya, adalah juga sikap yang tidak  pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.!!! 
Menurut para ulama, keumuman lafaz muhdatsat  (perkara baru) dan bid'ah pada hadis-hadis itu sudah dikhususkan  oleh hadis-hadis yang lain yang mengisyaratkan bahwa tidak setiap perkara baru  itu bisa dikategorikan sebagai bid'ahkesesatan, dan  mereka menyebut dalil tentang bid'ah itu sebagai dalil 'aam  makhshuush (dalil umum yang dikhususkan). Dalil yang mengkhususkannya di  antaranya adalah pernyataan sayidina Umar bin Khattab Ra. tentang shalat tarawih  berjama'ah yang beliau adakan, dengan ungkapan "Sebaik-baiknya bid'ah adalah  ini". Dari sini  dan juga dari dalil-dalil lain yang mengisyaratkannya maka  diketahui dengan pasti prinsip-prinsip dasar atau batasan yang menyebabkan suatu  perkara baru dianggap sesat atau tidak (lihat  Tahdziibul-Asmaa'  wal-Lughaat, Syarh an-Nawawi 'ala Shahih Muslim, Syarh az-Zarqani, Syarh Sunan  Ibnu Majah, ad-Diibaaj lis-Suyuthi, Faidl al-Qadir lil-Minawi, Syarh as-Suyuthi,  dan Subul as-Salam lish-Shan'ani). Prinsip dasar dan  batasan itulah yang dapat diberlakukan untuk menetapkan hukum sesat atau tidak  sesat terhadap perkara-perkara baru di setiap masa sampai hari kiamat. 
Baiknya kita sebut di antara dalil-dalil yang mengandung  isyarat adanya pengkhususan terhadap hadis tentang bid'ah, di  antaranya: 
1.         Ketika Nabi Saw. mengimami shalat, pada saat bangkit  dari ruku’, di belakang beliau ada Sahabat yang membaca رَبَّنَا وَلَكَ  الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّباً مُبَارَكًا فِيْهِ (segala puji bagi-Mu ya  Allah, pujian yang banyak, yang bagus, lagi diberkati di dalamnya) dan bacaan  ini tidak pernah diajarkan Nabi Saw. kepadanya. Setelah usai shalat, Nabi Saw.  bertanya kepada para ma’mum, “Siapa yang membaca demikian itu tadi?” Seorang  Sahabat mengaku, “Saya.” Nabi Saw. berkata, “(ketika engkau baca itu) aku  melihat lebih dari 30 malaikat berlomba-lomba ingin mencatatnya lebih cepat.”  (HR. Bukhari) 
2.         Seorang laki-laki dari golongan Anshar suatu saat  mengimami shalat. Setiap kali selesai membaca surat al-Fatihah, ia membaca surat  Qul Huwallaahu ahad (al-Ikhlash), setelah itu ia tambah lagi membaca surat yang  lain, dan itu ia lakukan di setiap raka’at. Ketika selesai, para Sahabat  menegurnya, “Apakah engkau tidak merasa cukup? Bacalah al-Ikhlash saja dan  tinggalkan yang lain, atau bacalah yang lain dan tinggalkan al-Ikhlash.” Ia  menjawab, “Aku tidak akan meninggalkannya. Kalau kalian suka, aku akan imami  kalian, kalau tidak kalian boleh tinggalkan.” Ketika ia dihadapkan kepada  Rasulullah Saw., beliau bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu tidak mau  melakukan saran mereka untuk mencukupkan pada al-Ikhlash saja atau pada yang  lainnya saja?” Ia menjawab,”Sesungguhnya aku mencintainya (surat al-Ikhlash).”  Maka Nabi Saw. bersabda,”Cintamu kepadanya (al-Ikhlash) akan memasukkan kamu ke  dalam Surga.” (HR. Bukhari) 
3.         Ketika melihat “kekacauan” para Sahabat dalam melakukan  shalat tarawih di masjid, karena mereka shalat berpencar-pencar dengan bacaan  masing-masing, maka Umar bin Khattab Ra. berinisiatif untuk mengumpulkan mereka  di dalam satu jama’ah (tarawih berjama’ah) dengan satu imam. Setelah dilakukan,  tarawih berjama’ah itu ternyata indah dan rapi, sehingga terucap dari lidah Umar  bin Khattab Ra.,” نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ (Sebaik-baik  bid’ah adalah ini).”  (HR. Malik). 
4.         Setelah Rasulullah Saw. wafat, dipilihlah Shahabat  setia beliau yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. sebagai pemimpin kaum muslimin atau  pemimpin orang-orang beriman (amiirul-mu'miniin). Di awal masa kekhalifahan  beliau inilah terjadi perang Yamamah, yaitu perang terhadap orang-orang murtad  dan orang yang mengaku menjadi nabi, alias nabi palsu yang bernama Musailamah  al-Kadzdzaab. Pada peperangan tersebut, dikatakan telah wafat sekitar 700 orang  shahabat bahkan mungkin lebih, di mana di antara mereka terdapat para penghafal  al-Qur'an. 
Maka Umar bin Khattab Ra. datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq  Ra. menyampaikan usul agar beliau sebagai khalifah dapat melakukan upaya  pengumpulan al-Qur'an secara tertulis dalam satu mushaf karena khawatir akan  hilangnya sebagian banyak daripada al-Qur'an bersama wafatnya para shahabat di  medan perang. Mendengar usul ini, Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. menolak  dengan alasan, "Bagaimana kami akan melakukan sesuatu yang tidak pernah  dilakukan oleh Rasulullah Saw.?"
Mendengar tanggapan Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. itu, Umar bin  Khattab Ra. menegaskan, "Demi Allah, (mengumpulkan al-Qur'an) ini adalah  baik!" Dan Umar bin Khattab Ra. terus menerus meyakinkan Abu Bakar Ra.  sampai akhirnya Allah melapangkan dadanya untuk menerima usul tersebut. Kemudian  keduanya menemui Zaid bin Tsabit Ra. dan menyampaikan rencana mereka kepadanya.  Zaid menjawab, "Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang tidak  pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.? Keduanya menjawab, "Demi  Allah, ini adalah baik!" Keduanya terus meyakinkan Zaid sehingga Allah  melapangkan dada Zaid sebagaimana telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar (HR.  Bukhari).Lalu dilaksanakanlah pengumpulan al-Qur'an itu oleh  panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit Ra. berdasarkan penunjukkan dari  khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. 
Hasilnya, mushaf al-Qur'an yang dikumpulkan berdasarkan usul  Umar bin Khattab Ra. dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. itu  kemudian disalin ulang dan dikembangkan serta disebarluaskan, hingga kini dapat  kita jumpai dan kita baca dengan mudah. Bayangkan, tanpa bid'ah  yang satu ini, barangkali kita tidak akan mengenal al-Qur'an dan tidak dapat  membacanya!           
Dan banyak lagi contoh-contoh riwayat yang lain yang  menjelaskan adanya bid’ah yang dilakukan di masa Rasulullah Saw. atau  di masa para Shahabat beliau yang tidak dianggap sebagai suatu kesesatan, bahkan  dijelaskan keutamaannya. Itu berarti, keumuman hadis tentang larangan  bid’ah dikhususkan/dikecualikan oleh kasus-kasus seperti riwayat-riwayat shahih  yang tersebut di atas. Kasus-kasus seperti itu kemudian dipelajari dan  diambil benang merahnya, kemudian benang merah itulah yang menjadi dasar  membolehkan perkara baru (bid'ah) yang baik (hasanah). 
Bid'ah hasanah adalah sesuatu yang  baru (yang bentuk/formatnya tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw.) yang  diada-adakan oleh orang-orang setelahnya tetapi tidak bertentangan dengan  prinsip agama Islam dan mengandung kebaikan atau maslahat. Dan yang  menyetujui adanya pembagian bid'ah menjadi dua, yaitu  sayyi'ah/madzmumah (buruk/tercela) dan hasanah/mahmudah  (baik/terpuji), adalah mayoritas ulama yang diakui keilmuannya, mereka  adalah: Imam Syafi'I, Ibnu Abdil-Barr, Ibnu al-'Arabi, Ibnu al-Atsir, 'Izzuddin  bin Abdussalam, Imam an-Nawawi, Ibnu Hajar al-'Asqallani, Badruddin Mahmud  al-'Aini, ash-Shan'ani, asy-Syaukani, dan lain-lainnya.  
Yang dimaksud para ulama dengan prinsip dasar atau  batasan dalam urusan bid'ah ini adalah seperti yang dikatakan oleh Imam  Syafi'I yaitu, "Bid'ah itu ada dua: Terpuji (mahmudah) dan tercela  (madzmumah). Apa yang sesuai/sejalan dengan sunnah adalah terpuji, dan apa yang  bertentangan dengan sunnah adalah tercela" (lihat Fathul-Bari,  Ibnu Hajar al-Asqallani, Daarul Ma'rifah, juz 13, hal 253).  
Apa yang dilakukan oleh para ulama dalam rangka memahami dalil  bid'ah tersebut sangatlah proporsional, di mana dalil "yang umum"  pengertiannya "dikhususkan" oleh adanya dalil-dalil lain. Dan ketika ternyata  dalil-dalil itu memang tidak menyebutkan perincian jenis perkara-perkara baru  berbau agama, baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi di masa datang,  maka mereka pun tidak merincikannya, melainkan hanya menetapkan prinsip dasar  dan batasannya yang sangat berguna untuk dapat menggolongkan apakah suatu  perkara baru di masa depan termasuk yang dilarang (tercela/sesat) atau  dibolehkan (terpuji/hasanah). 
Sementara yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah  keteledoran, di mana "dalil umum" tentang bid'ah mereka gunakan untuk  menghukumi perkara-perkara khusus, bahkan segala perkara baru berbau agama tanpa  terkecuali, padahal dalil-dalil itu tidak menyebutkan rinciannya. Ini terjadi  akibat mereka tidak menggunakan metodologi para ulama dalam memahami dalil umum,  khususnya tentang muhdatsat dan bid'ah, karena mereka hanya  mengandalkan makna lahir (harfiyah) dari dalil tersebut sehingga mereka tidak  peduli terhadap dalil-dalil lain yang jelas-jelas mengisyaratkan adanya  pengkhususan atau pengecualian. 
Singkatnya, tentang hadis muhdatsat dan  bid'ah tersebut, para ulama memberlakukan takhsish  (pengkhususan) yaitu metode pembahasan dalil umum yang sudah disepakati oleh  seluruh ulama ushul. Sedangkan Kaum Salafi & Wahabi memberlakukan  tafshil (perincian) dengan menyebutkan jenis atau macam-macam amalan  yang mereka tuduh sebagai bid'ah, dan metode ini tidak pernah digunakan  oleh para ulama ushul dalam membahas sebuah dalil umum.  
Maka saat mereka mengatakan, "Peringatan Maulid Nabi  Muhammad Saw., zikir berjama'ah, dan lain sebagainya adalah bid'ah  sesat yang dilarang oleh Rasulullah Saw.", berarti mereka benar-benar telah  melakukan penipuan terhadap umat dan telah berbohong atas nama Rasulullah Saw.  Mengapa demikian??! Karena Rasulullah Saw. tidak pernah menyebutkan hal  itu. 
Dalam rangka menambah kesan sangat buruk pada tertuduh pelaku  bid'ah, mereka juga mengajukan dalil-dalil lain tentang ancaman bagi  pelaku bid'ah seperti hadis-hadis Rasulullah Saw. berikut ini: 
أَبَى اللهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ (رواه ابن ماجه)"Allah enggan menerima amal pelaku bid'ah sampai ia meninggalkan bid'ahnya"(HR. Ibnu Majah dengan sanad yang dha'if, karena terdapat 2 perawi yang majhul atau tidak diketahui).لاَ يَقْبَلُ اللهُ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ صَوْمًا وَلاَ صَلاَةً وَلاَ صَدَقَةً وَلاَ حَجًّا وَلاَ عُمْرَةً وَلاَ جِهَادًا وَلاَ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً يَخْرُجُ مِنْ اْلإِسْلاَمِ كَمَا تَخْرُجُ الشَّعَرَةُ مِنْ الْعَجِينِ (رواه ابن ماجه)"Allah tidak menerima dari pelaku bid'ah amal puasanya, shalatnya, shadaqahnya, hajinya, umrahnya, jihadnya, taubatnya, dan fidyahnya. Ia keluar dari Islam seperti keluarnya rambut dari dalam tepung" (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang dha'if, karena terdapat perawi yang dianggap pendusta bahkan dikenal sebagai pemalsu hadis)
 Kedua hadis ancaman terhadap pelaku bid'ah di atas,  sebenarnya tidak dapat dijadikan hujjah karena tingkat kelemahan  (dha'if) yang cukup berat. Namun begitu, seandainya pun mau  diberlakukan juga maknanya, tentu kita dapat melihat jelas bahwa kata  bid'ah yang dikandungnya juga bersifat umum seperti dalil-dalil  sebelumnya, sehingga tidak bisa dituduhkan kepada setiap perkara baru berbau  agama seperti maulid atau tahlilan kecuali bila ada dalil yang  menyebutkannya. 
Demikian pula dengan dalil-dalil dari para shahabat  atau para ulama salaf yang mereka lansir sebagai sikap kebencian para  ulama tersebut terhadap bid'ah dan para pelakunya, pun bersifat umum.  Mari kita lihat seperti yang tersebut di dalam mukaddimah buku Bid'ah-bid'ah  yang Dianggap Sunnah, sebagai berikut: 
Kata Ibnu Mas'ud, "Ikutilah dan janganlah melakukan bid'ah karena agama sudah dicukupkan untuk kalian."Kata Ibnu Abbas, "Hendaknya engkau senantiasa bertakwa kepada Allah dan beristiqamah, ikutilah dan jangan melakukan bid'ah."Menurut Ibnu Umar, " Setiap bid'ah adalah kesesatan meskipun orang lain menganggapnya bagus."Kata Umar bin Abdul Aziz, "Aku nasihatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah dengan istiqamah, mengikuti sunnah Rasul-Nya dan meninggalkan bid'ah yang dilakukan oleh ahli bid'ah sesudahnya."Abu Hanifah berkata, "Hendaknya kalian berpegang teguh dengan atsar, mengikuti langkah salaf, dan menghindarkan dirimu dari hal-hal yang baru, karena itu merupakan perbuatan bid'ah."
Imam Malik berkata, "Barangsiapa melakukan bid'ah dalam  Islam dan menganggapnya baik, berarti dia telah meyakini bahwa Muhammad Saw.  telah berkhianat dalam menyampaikan risalah, karena Allah telah berfirman, 'Pada  hari ini telah kusempurnakan untuk kalian agama kalian (al-Maidah:3). Apa saja  yang saat itu tidak dikategorikan sebagai agama, maka sekarang pun tidak menjadi  bagian darinya."
Ahmad bin Hanbal berkata, "Bagi kami, dasar-dasar sunnah  adalah berpegang teguh kepada apa yang dilakukan oleh para shahabat Rasulullah,  mengikuti mereka, dan meninggalkan bid'ah. Dan setiap bid'ah adalah  kesesatan."
Dan banyak lagi dalil-dalil dari para shahabat dan para ulama  salaf yang mereka kemukakan, dan itu semua bersifat umum, tidak merincikan  jenis-jenis bid'ah yang dimaksud. Berarti, saat mereka menyebut  bid'ah dengan nada ungkapan kebencian seperti di atas, maksudnya adalah  bid'ah yang bertentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw.  alias bid'ah sayyi'ah/madzmumah atau dhalalah sebagaimana  telah diuraikan sebelum ini, bukan seluruh bid'ah tanpa terkecuali.  Pengertian tersebut juga dapat diambil dari hadis Rasulullah Saw.: 
إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِيْ قَدْ أُمِيْتَتْ بَعْدِيْ فَإِنَّ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أََنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا (رواه الترمذي)"Sesungguhnya barang siapa yang menghidupkan suatu sunnah dari sunnahku yang telah dimatikan (ditinggalkan) setelah aku (wafat), maka sesungguhnya bagi dia daripada pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang mengada-adakan (melakukan) bid'ah dhalalah yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, adalah atasnya (baginya) seperti dosa-dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi dari dosa-dosa manusia (yang melakukannya) sedikitpun" (HR. Tirmidzi).
Hadis ini juga secara tidak langsung mengindikasikan bahwa  bid'ah dhalalah (bid'ah kesesatan) itu adalah bukan sunnah Rasulullah  Saw. atau tidak sejalan dengan sunnah beliau. Di samping itu, penyebutan kata  bid'ah dhalalah yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya juga  mengindikasikan makna tersirat bahwa di sana ada bid'ah hasanah (bid'ah  kebaikan) yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, yang dalam bahasa lain adalah  sunnah hasanah, yaitu yang termasuk dalam sunnah Rasulullah Saw. atau  yang sejalan dengan sunnah beliau. Ini adalah penjelasan yang sejalan dengan  pendapat mayoritas ulama yang setuju dengan adanya takhsish pada hadis  bid'ah.      
Kaum Salafi & Wahabi juga telah mencari-cari alasan untuk  menolak zhahirnya ucapan sayidina Umar bin Khattab Ra. ketika beliau mengatakan  "Sebaik-baik bid'ah adalah ini!" Mereka berkata, bahwa sesungguhnya  shalat tarawih berjama'ah yang dilakukan Umar bin Khattab Ra. itu bukanlah  bid'ah karena pernah dilaksanakan oleh Rasulullah Saw. selama tiga  malam, jadi hal itu sebenarnya adalah sunnah, bukan bid'ah.  Berarti, kata mereka, Umar bin Khattab Ra. tidak melakukan perkara baru, tetapi  menghidupkan sunnah Rasulullah Saw. yang pernah dilakukan lalu  ditinggalkan. 
Pada ungkapan mereka ini jelas sekali ada alasan yang  dipaksakan. Pertama, sayidina Umar jelas-jelas menyebutnya  sebagai bid'ah, mereka malah menta'wilnya sebagai sunnah.  Biasanya mereka paling anti terhadap ta'wil, sebab kebiasaan mereka  adalah memahami dalil secara harfiyah apa adanya. Pada kasus ini, mereka  melanggar prinsip mereka sendiri dengan melakukan ta'wil, tentunya karena ada  kepentingan membela keyakinan mereka yang keliru. Kedua, bila  cuma sunnah Rasulullah Saw. yang dihidupkan kembali, kenapa sayidina  Umar bin Khattab Ra. menggagas shalat tarawih berjama'ah itu di awal malam  (ba'da Isya) bukan tengah malam, dan bukan cuma tiga malam seperti yang pernah  dilakukan Rasulullah Saw., tetapi sebulan Ramadhan penuh, serta dengan jumlah 20  raka'at yang mana tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Apakah benar-benar  tidak ada perkara baru dalam hal itu?!! 
Tidak berhenti sampai di sini, kaum Salafi & Wahabi  kemudian juga mengatakan, bahwa orang yang mengatakan ada bid'ah  hasanah dengan dalil ucapan sayidina Umar bin Khattab Ra. "Sebaik-baik  bid'ah adalah ini" berarti telah membenturkan hadis Rasulullah Saw. yang  berbunyi "Setiap bid'ah adalah kesesatan" dengan perkataan Umar bin  Khattab Ra. Bagaimana mungkin hal itu dapat dibenarkan –kata mereka--, sedangkan  Umar bin Khattab Ra. hanyalah seorang shahabat yang tidak boleh lebih  diunggulkan dari pada Rasulullah Saw. Bahkan mereka mengajukan dalil dari  ungkapan Ibnu Abbas Ra., "Hampir saja kalian dilempar dengan batu dari atas  langit. Sebab aku katakan, 'Rasulullah Saw. bersabda', tetapi kalian  menentangnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar."(lihat Ensiklopedia  Bid'ah, hal. 27). 
Alasan ini pun tidak bisa diterima. Pertama,  di samping pernyataan Ibnu Abbas tersebut perlu diteliti lagi keabsahannya  karena tidak jelas sumbernya, penempatannya pada kasus ini pun sangat tidak  berhubungan, terkesan dipaksakan. Kedua, para ulama yang  mendasari adanya bid'ah hasanah dengan dalil dari ucapan sayidina Umar  bin Khattab Ra. itu, bukan berarti mengkonfrontir atau membenturkan sabda  Rasulullah Saw. dengan perkataan Umar bin Khattab Ra., tetapi mereka justeru  sedang menjelaskan pemahaman bid'ah yang disebutkan Rasulullah Saw. itu  dengan isyarat yang ada di dalam perkataan sayidina Umar. Sebab, mustahil  sayidina Umar tidak pernah mendengar sabda Rasulullah Saw. "setiap bid'ah  adalah kesesatan", dan mustahil pula sayidina Umar tidak mengerti maksud  hadis itu sehingga ia berani meledeknya dengan ucapan "sebaik-baik bid'ah  adalah ini". Justeru keberanian sayidina Umar bin Khattab Ra. mengucapkan  ungkapan tersebut adalah karena beliau paham betul maksud dari hadis Rasulullah  Saw. tentang bid'ah itu, lagi pula tidak seorang pun dari shahabat  Rasulullah Saw. yang lain yang membantahnya ketika ia mengucapkannya. Ini  menunjukkan bahwa sayidina Umar bin Khattab Ra. dan para shahabat yang lainnya  sangat mengerti, bahwa hadis "setiap bid'ah adalah kesesatan" maksudnya  adalah yang bertentangan dengan prinsip al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Saw.,  bukan sembarang perkara baru. 
Analoginya, jika di suatu kampung ada seseorang bernama  "Udin" yang dikenal sangat buruk perangainya, maka saat seseorang berkata kepada  anaknya, "Jangan kau bergaul sama Udin" atau "Aku tidak sudi  berhubungan dengan Udin", tentu itu artinya bukan sembarang Udin karena di  kampung itu banyak orang yang memiliki nama panggilan "Udin". Saat nama "Udin"  diucapkan dengan nada atau ungkapan kebencian, maka maksudnya adalah "Udin yang  terkenal keburukan perangainya." Seperti itulah pengertian yang dapat kita ambil  dari ungkapan-ungkapan Rasulullah Saw., para shahabat, dan para ulama salaf  ketika mereka menyebut kata bid'ah.
Saat Rasulullah Saw. menyatakan, "Setiap bid'ah  adalah kesesatan", maka maksudnya sudah jelas, yaitu perkara-perkara baru  yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebaikan yang disebutkan di dalam  al-Qur'an dan Sunnah. Analoginya, ada orang berkata tentang si "Udin" yang  terkenal keburukannya itu, "Setiap perbuatan Udin adalah keburukan",  tentu maksudnya adalah perbuatannya yang bertentangan dengan norma agama  atau norma masyarakat, bukan semua perbuatannya. Bagaimana mungkin perbuatan si  "Udin" seperti: Makan saat ia lapar, tidur saat ia mengantuk, diam saat ia tidak  melakukan apa-apa, juga dianggap sebagai keburukan??! Sungguh keji orang yang  memukul rata seluruh perbuatan itu sebagai keburukan, sebagaimana kejinya orang  yang memukul rata seluruh perkara baru berbau agama seperti maulid,  tahlilan, zikir berjama'ah, do'a berjama'ah, ziarah kubur,  dan lain  sebagainya sebagai kesesatan!      
Sungguh, orang yang tidak bisa melihat kebaikan, manfaat, dan  maslahat yang ada di dalam acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. atau yang  lainnya yang dikategorikan oleh para ulama sebagai bid'ah hasanah  (perkara baru yang baik) dengan alasan Rasulullah Saw. tidak pernah  melakukannya, adalah orang yang belum dilapangkan dadanya untuk leluasa melihat  kebaikan di dalam agama, padahal para ulama sudah banyak menulis kitab-kitab  yang menjelaskan dalil-dalil dan keutamaan-keutamaannya. 
Bila Khalifah Abu Bakar Shiddiq Ra. bisa menerima usul  Sayidina Umar bin Khattab Ra. dalam hal "penulisan dan pengumpulan al-Qur'an  dalam satu mushaf" hanya dengan alasan "Demi Allah, ini adalah baik"  hal mana ia tahu Rasulullah Saw. tidak pernah melakukannya, dan Abu Bakar Ra.  menyatakan bahwa penerimaannya terhadap usul itu adalah sebagai wujud "Allah  melapangkan dadaku untuk menerima usul itu", maka betapa masih sempitnya  dada kaum Salafi & Wahabi yang tidak bisa menerima adanya kategori  bid'ah hasanah/mahmudah dan kebaikan-kebaikannya bagi umat di masa  belakangan padahal mayoritas ulama sudah membahasnya di dalam kitab-kitab mereka  lebih dari sekedar ungkapan "Demi Allah, ini adalah baik". Harusnya  mereka menangis sambil berusaha mencari tahu, "Mengapa, dengan puluhan jilid  kitab para ulama, Allah belum melapangkan dadaku sebagaimana Ia melapangkan dada  Abu Bakar Shiddiq Ra. hanya dengan satu kalimat 'Demi Allah, ini adalah baik'?"  Jawabnya adalah, karena di hati mereka masih ada kesombongan;  merasa lebih utama dan benar sendiri, dan menganggap selain mereka salah dan  tidak sesuai sunnah.
0 komentar:
Posting Komentar